Entri Populer

Kamis, 04 Agustus 2011

Seks dan Politik Kekuasaan; Perempuan di Lintas Sejarah Palembang

DI Palembang, catatan tentang peran perempuan dalam lingkar politik kekuasaan, justru telah ada sejak abad ke-17. Dalam sejarah Palembang, setidaknya terdapat empat “peran” perempuan dalam lingkar politik kekuasaan. Pertama, sebagai sarana perluasan kekuasaan, yang pada kondisi tertentu justru menjadi penyulut perang antar-negeri; kedua, sebagai salah satu faktor penyebab peralihan kekuasaan, baik langsung maupun tidak langsung; ketiga, sebagai “media” penyatu –dalam istilah sekarang, rekonsiliasi—antar pihak yang bertikai; dan keempat, betul-betul memegang peran penting dalam ketatanegaraan.

Perang Antar-negeri
            PERKAWINAN “keraton” antara Jambi-Johor dan Jambi-Palembang, telah melibatkan tiga kerajaan ini bersengketa, yang menyulut perang antar-ketiganya. Ujung-ujungnya, siapa yang diuntungkan? Jangan heran, yang muncul adalah Vereenigde Oost Indische Compagnie sebagai “penengah” dalam perselisihan itu.
Perkawinan antara Putri Jambi dengan Raja Muda Johor, sempat menciptakan ketegangan antara dua negeri itu. Suatu ketika, Jambi merasa tidak puas atas sikap penguasa Johor, Sultan Abdul Jalil dalam hubungan perkawinan itu. Karenanya, Jambi mengirimkan utusan pada Mei 1665. Utusan menyampaikan ultimatum agar Raja Muda segera menjemput istrinya, atau menceraikannya. Belanda turun tangan dan menemui Sultan Abdul Jalil pada 30 November 1666. Namun, suasana semakin panas saat terdengar kabar mengenai rencana serangan Palembang atas Jambi. Nah!
Sekitar Februari tahun berikutnya, saat utusan Jambi datang ke Johor dan memberitahukan bahwa Palembang telah menyerang Jambi, Sultan Johor mengatakan bahwa Raja Muda telah berangkat dengan 25 kapal tujuan Lingga –mengumpulkan pasukan yang lebih besar jumlahnya—untuk menyerang Palembang. Ini dilakukan demi kecintaannya terhadap istri dan ayah mertuanya. Sayangnya, dalam perjalanan menuju Palembang, terjadi peselisihan, yang berakibat penembakan oleh kapal Johor terhadap kapal Jambi.
Situasi berubah, saat Pangeran Ratu Jambi menikahkan putranya, Pangeran Dipati Anom, dengan putri Palembang, 4 April 1673. Bersama Palembang, Pangeran Ratu menyusup ke wilayah Johor, bahkan infiltrasi terjadi hingga ke Johor Lama. Johor takluk, Raja Muda melarikan diri ke belantara, sedangkan sultan melarikan diri dengan perahu ke sebuah pulau yang berada di bawah kuasa Johor.  
Kemudian, Johor bangkit kembali. Melihat situasi ini, Jambi memerkuat pasukan dan mencari sekutu. Terlibatlah Daeng Mangika, putra I Mappaosong Kraeng Bisei, Raja Goa (1674-1677). Daeng Mangika bersama pengikutnya melarikan diri ke Banten, setelah negerinya ditaklukkan VOC bersama Aru Palakka pada tahun 1677. Hubungan antara Daeng Mangika (plus pengikutnya dari Bugis dan Makassar) dengan Jambi dijalin oleh Pangeran Ratu Jambi. Namun, hubungan itu pun pecah, setelah Jambi memutuskan untuk membatalkan perjanjian.
Johor menyerang Jambi pada Mei 1679. Sebanyak 300 kapal Johor telah menduduki kuala Sungai Jambi. Sementara 40 kapal yang lebih kecil, telah memasuki wilayah hulu, merebut benteng tanpa penjagaan, lalu membuang semua senjata di benteng itu. Menyadari situasi ini, Jambi balik menyerang hingga Johor terusir. Di tengah situasi itu, Pangeran Dipati Anom, putra Pangeran Ratu, bersama Daeng Mangika seolah sengaja membiarkan Johor menang. Kedua negeri kembali “berbaikan”. Akan halnya Daeng Mangika, bersama 500 pengikutnya, berlayar dengan tiga belas kapal menuju Palembang, 17 Oktober 1679.
Singkat cerita, dia bersahabat karib dengan Raden Aria –kelak menjadi raja dengan gelar Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago—yang hobi bertualang dan berkelahi. Inilah alasan namanya “jayo ing lago”. “Persekutuan” Raden Aria dengan Daeng Mangika seolah mengoyak luka lama. Hubungan yang buruk antara Palembang dan Jambi kembali terjadi. Di satu pihak, Jambi merasa keberatan Palembang menampung Daeng Mangika. Di pihak lain, perselisihan lama mengenai suatu daerah perbatasan, Tembesi, masih terus berlangsung. Apalagi, Raden Aria –atas dukungan ayahnya, Sultan Abdurrahman—bersama Daeng Mangika, menyerang Jambi pada Oktober 1680. Di sinilah, VOC mendapat keuntungan dengan posisinya sebagai “penengah”.
Sengketa Tembesi cukup menarik untuk dikaji. Menurut P. de Roo de Faille, semula Tembesi menjadi mas kawin atas perkawinan putri tunggal Pangeran Palembang, Ratu Mas, dengan Pangeran Ratu, ahli waris Kerajaan Jambi. Saat itu, Jambi “memaksakan” keinginan agar Palembang menerapkan garis ibu dalam perkawinan. Tidak begitu jelas, Pangeran Palembang mana yang dimaksud de Faille. Apakah yang dimaksudnya itu Sultan Abdurrahman (pernikahan putri sultan dengan Pangeran Jambi, Pangeran Dipati Anom, 4 April 1673) ataukah ada lagi pernikahan pada masa sebelumnya. Namun, dari penyebutan pemimpin Palembang sebagai Pangeran, dapatlah disimpulkan bahwa itu adalah perkawinan yang berbeda dan terjadi pada masa Kerajaan Palembang (1587-1659), bukan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823). Ini ditambah lagi dengan penjelasan de Faille bahwa data itu didapatnya dari Daghregister (catatan harian), 11 Juni 1627. Artinya, sebelum pernikahan putri Abdurraahman dengan Pangeran Dipati Anom, sebelumnya juga terjadi pernikahan antar-kerajaan.
Tetap saja menarik, ketika membaca ulasan de Faille, bahwa Pangeran Jambi merasa berhak atas tahta Palembang, saat Pangeran Palembang mangkat. Namun, keinginan itu kandas akibat “dua perampas kekuasaan”, demikian digambarkan pihak Jambi terhadap dua saudara laki-laki almarhum Pangeran Palembang.
Di sini, terlihat bagaimana sosok perempuan dapat memberi pengaruh besar terhadap kekuasaan. Lantas, bagaimana dengan Tembesi? Berdasarkan perjanjian yang “dimediasi” VOC, daerah itu akan dikembalikan apabila terjadi perkawinan antara putri Palembang dengan Pangeran Jambi. Aha!

Perselisihan Sekaligus Rekonsiliasi
            PALING kurang, terdapat tiga sengketa yang diakibatkan perempuan, dan dua di antaranya berujung pada kematian. Pertama, Sido Ing Kenayan –nama ini tertulis setelah yang bersangkutan wafat—yang tewas di tangan salah satu panglimanya.
Mengenai peristiwa kematian Sido Ing Kenayan ini, ada hal menarik karena ada beberapa versi cerita. Pertama siapa tokoh raja yang terbunuh dan kedua bagaimana peristiwa itu terjadi. Salah satunya, seperti catatan Palembang yang dikutip Roo de Faille (1971: 19).
Sjahdan Ki Mas Dipati mati... maka diganti saudaranja nama Pangeran Made Sokan menjadi radja, dan tatkala itu dia punja aturan kurang baik, sebab manakala rajat kawin akan dibawa lebih dahulu mengadap radja; jang manapun bagus, dititipkan didalam kraton, lakinja disuruh pulang (an sich!).
Pada versi ini, Roo de Faile menuliskan bahwa sesuai kebiasaan itu, suatu hari Pangeran melihat pasangan suami istri. Si istri demikian memesona sehingga Pangeran menahan perempuan itu di dalem-nya. Suami perempuan itu, Jaladri, kemudian mengamuk karena Pangeran menolak mengembalikan istrinya (Faille: 1971; 19). Versi lain, juga berdasarkan catatan de Faile, adalah Sido Ing Pasarean yang tewas akibat digigit musang (1971: 20).
            Kekacauan di Kerajaan Palembang ini kemudian diredakan oleh Ki Bodrowongso, yang berhasil membunuh Jaladri. Dalam sejarah Palembang, nama Ki Bodrowongso ada disebut sebagai panglima semasa pemerintahan Sido Ing Kenayan (1636-1650) dan Sido Ing Pasarean (1651-1652). Sido Ing Kenayan merupakan keenam Palembang ini menggantikan pamannya, Sido Ing Puro (1629-1636). Nama-nama ini dikenal setelah mereka mangkat. Sido Ing Pasarean, merupakan saudara sepupu Sido Ing Kenayan dan putra Ki Mas Dipati (1604-1609), yang merupakan raja kedua Palembang. 
Ki Bodrowongso juga merupakan tokoh yang sangat berpengaruh pada peralihan kekuasaan antara Sido Ing Kenayan dan Sido Ing Pasarean. Setelah Sido Ing Kenayan tewas terbunuh oleh Jaladri, Ki Bodrowongso menguasai keadaan. Namun, dia justru tidak mengambil kekuasaan yang digenggamnya. Tokoh ini justru menyerahkan kekuasaan kepada Sido Ing Pasarean. Ki Bodrowongso dapat dikatakan memegang peran penting pada sejarah perjalanan politik Kerajaan Palembang hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Tokoh ini juga dikenal sebagai Panglima Bawah Manggis. Hal ini terkait dengan posisi makamnya –sebelum kompleks makam dibangun seperti sekarang—yang berada di bawah naungan pohon manggis. Di dalam kompleks makam ini, terdapat antara lain makam Sido Ing Kenayan, Sido Ing Pasarean, Ratu Sinuhun, Sayyid Muhammad Nuh Imam Al Fasa (guru agama dan Imam Kubur Sido Ing Pasarean), dan Nyimas Ayu Rabi’al Hasanah (pengageng kraton).
Kedua, pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Saat tahta dipegang Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1697-1709), Pangeran Purbayo, tewas terbunuh. Ada sumber yang menyebutkan bahwa pembunuhan Pangeran Ratu ini akibat masalah perempuan. Muhammad Mansyur yang menggantikan ayahnya, Sultan Abdurrahman, merasakan kekecewaan mendalam terhadap putranya yang lain. Karena itu, kekuasaan diserahkan kepada adiknya, yang kemudian bergelar Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1709-1719).  Hal ini menyulut konflik antara putra Muhammad Mansyur, yaitu Anom Alimuddin dan Mahmud Badaruddin, dengan Sultan Agung. Konflik antara paman-keponakan ini mengakibatkan dua bersaudara itu meninggalkan Palembang. Setelah proses politik yang cukup memakan waktu (sekitar sepuluh tahun), Sultan Agung menyerahkan kekuasaan kepada Anom Alimuddin sebagai Sultan dan Mahmud Badaruddin sebagai Pangeran Ratu.
Lagi-lagi konflik tersulut. Mahmud Badaruddin –dalam pengasingannya, Mahmud Badaruddin telah melanglang buana, dari kawasan Nusantara hingga ke sebagian kawasan Asia hingga memiliki dua istri dari pengembaraannya itu—merasa lebih berhak menjadi sultan. Sebagai jalan keluar, Sultan Agung mengadakan sayembara yang intinya menyatakan bahwa siapa yang dapat memeristri putrinya, Ratu Rangdan, dialah yang berhak menjadi sultan. Faktanya kemudian, Mahmud Badaruddin-lah yang menjadi sultan, setelah menyunting Ratu Rangdan.
Konflik terus berlanjut hingga terbunuhnya Anom Alimuddin. Untuk meredam konflik, Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo merekrut “orang-orang” Anom Alimuddin di dalam pemerintahannya.
Dari proses politik kekuasaan ini, dapat dilihat bagaimana lembaga perkawinan dapat digunakan sebagai mediasi politik yang sangat ampuh. Karena itu pula, perkawinan antara Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dengan Nyimas Naimah merupakan bagian dari proses politik.
Perkawinan antara Mahmud Badaruddin dengan Ratu Rangdan dapat dikatakan sebagai bagian dari usahanya merekatkan kembali “keretakan” yang terjadi antarkeluarga. Sebelum menjanda, Ratu Rangdan merupakan istri Pangeran Ario Kesumo Cengek. Pangeran ini merupakan putra Pangeran Purbayo. Dengan demikian, Mahmud Badaruddin menikahi janda keponakannya. Ini berarti telah terjadi “perdamaian” antara tiga keluarga, yaitu almarhum Pangeran Purbayo, Sultan Agung, dan Mahmud Badaruddin.
Dalam kehidupan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, yang dikenal juga sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I, ada satu babak yang cukup menarik. Yaitu, pernikahannya dengan Nyimas Naimah. Dalam cerita tutur, dikisahkan bahwa ketertarikan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo terhadap Nyimas Naimah dipicu oleh pancaran cahaya yang muncul dari rumah perempuan itu, saat sultan melakukan perjalanan malam hari dengan pencalangnya.
Pernikahan sultan dengan istri keempatnya ini juga tidak dapat dikesampingkan unsur politisnya. Perempuan ini berdiam di lingkungan keluarga di kawasan Plembang Lamo, yang pada masa lalu masuk dalam kawasan Benteng Kuto Gawang. Sementara pada masa kekuasaan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, kraton telah tiga kali berpindah. Mulai dari Kuto Cerancang pascaluluhlantaknya Kuto Gawang (masa Sultan Abdurrahman) hingga Kuto Kecik (inisiatif Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo). Ada kemungkinan, keluarga ini merupakan bagian dari keluarga pendukung Sido Ing Rejek yang tersingkir dari lingkar dalam kekuasaan.
Apabila merunut silsilah keluarga Nyimas Naimah, komunitas ini juga bukan tokoh sembarangan. Ayahnya, bergelar Tumenggung. Apabila ditarik ke atas, Tumenggung Jompong merupakan putra Kemas Zainuddin bin Tumenggung Santeri Gemuk Alimuddin bin Kemas atau Panglima Nasruddin bin  Kemas Sewoto Diwanso bin Kemas Tengah bin Kiai Arya Slipir bin Sang Aji Kidul bin Sido Ing Lautan (berdasarkan silsilah keluarga Kemas H. Abdullah Umar bin Kemas H.M. Zen). Nama terakhir ini merupakan salah satu dari 28 ningrat Jawa yang hijrah ke Palembang pasca-keruntuhan Demak.
Sementara dari garis ibunya, Nyimas Naimah juga tercatat dialiri darah salah seorang tokoh berpengaruh pada proses politik di Palembang. Ibu kandung Nyimas Naimah, Nyayu Badariah, merupakan keturunan Ki Bodrowpngso.
Dengan demikian, cerita tutur yang berkembang pada seputar pernikahan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo-Nyimas Naimah, kuat diduga sebagai simbolisasi dari sebuah proses politik. Cahaya yang diceritakan memancar dari rumah Tumenggung Jompong –akhirnya disebut berasal dari Nyimas Naimah—boleh jadi merupakan simbol dari posisi Nyimas Naimah yang berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh politik yang cukup besar.

Rumah Tumenggung Jompong, dibangun kembali sekitar tahun 1830, setelah hangus terbakar saat berlangsung Perang Palembang 1821.

Masa kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dapat dikatakan sebagai masa transisi yang penuh intrik “jilid kedua” setelah Kesultanan Palembang Darussalam didirikan Kemas Hindi Pangeran Aryo Kesumo Abdurrohim dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Iman antara tahun 1959-1663.
Setelah perang melawan (VOC) pada tahun 1659 M, Benteng Plembang Lamo (Kuto Gawang) di 1 Ilir (sekarang, lokasi pabrik PT Pusri) dibakar habis oleh Belanda pada 24-26 November 1659. Akibat peristiwa ini, Sido Ing Rejek Ratu Mangkurat Jamaluddin terusir dan mundur ke daerah Sakatiga (OI) dan mangkat di daerah itu.
Mulailah babakan baru kekuasan di Palembang. Adik Sido Ing Rejek, Ki Mas Hindi kemudian mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam di Kuto Cerancang (kini kawasan Beringin Janggut) dan mengangkat diri sebagai sultan. Langkah politik terbesarnya adalah melepaskan diri dari “kekuasaan” Mataram. Namun, legalitas sebagai pemimpin itu tidak didapat begitu saja. Intrik dalam keluarga kerajaan terjadi, sehingga peralihan kekuasaan berlangsung di dalam kraton.
Peran terbesar perempuan Palembang dalam ketatanegaraan pada masa lalu dipegang Ratu Sinuhun. Ratu Sinuhun tercatat sebagai penulis kitab Undang-undang Simbur Cahaya; sekumpulan hukum adat tak tertulis, yang kemudian dikumpulkan menjadi bahan tertulis berbentuk kitab yang berlaku untuk rakyat di wilayah Uluan dan Iliran Palembang. Dia merupakan saudara perempuan Sido Ing Kenayan, yang diperistri Sido Ing Pasarean. Kitab ini tetap berlaku pada masa penjajahan Belanda, tetapi dilakukan sedikit perubahan, sesuai kepentingan pemerintah kolonial.
Kodifikasi terhadap kitab itu dilakukan oleh Asisten Residen Tebingtinggi, J.F.R.S. van den Bossche. Penulisan kembali hukum adat ini dilakukan atas perintah Residen Palembang, Kolonel C.A. de Braw (1851-1855), yang menginstruksikan agar jajaran di bawahnya melakukan pengumpulan data mengenai adat dan kebiasaan lokal di Palembang (baca: Sumatera Selatan) untuk ditulis dan dipergunakan sebagai dasar pembinaan hukum melalui pembinaan administrasi, pada tahun 1852. Tulisan Bossche, yang pengumpulan datanya berlangsung selama dua tahun itu, kemudian diedit dan dipublikasikan oleh L.W.C. van den Berg.
Hukum ini pun tetap berlaku di Sumatera Selatan setelah Indonesia merdeka. Teerbitnya UU mengenai pemerintahan daerah, yaitu UU No. 5/1974, UU No. 4/1975, yang kemudian dipertegas lagi lewat UU No. 5/1979, hilanglah pemerintahan marga, yang memakai kitab ini sebagai sumber hukum.
Untuk mengenang kembali UU ini, ada baiknya diingatkan mengenai adat dan aturan yang dimuatnya. Kitab Undang-undang Simbur Cahaya terdiri atas enam bab. Yaitu, Bab I Adat Bujang Gadis dan Kawin; Bab II Aturan Marga; Bab III Aturan Dusun dan Berladang; Bab IV Aturan Kaum; Bab V Adat Perhukuman; dan Bab VI Aturan Pajak.  Salah satu perubahan yang dilakukan pemerintah kolonial pada kitab hukum yang ditetapkan lewat Staatsblad 1877 No. 197 ini adalah Bab VI mengenai pajak, karena itu bertentangan dengan tujuan penjajahan, yaitu penguasaan tanah oleh pemerintah.
Demikian sebagian dari peran dan posisi perempuan dalam lintas sejarah  Palembang. Mengenai penilaian atas peran dan posisi itu, terserah pembaca untuk memberikan poinnya.

Sebagian tulisan dari artikel ini dikutip dari buku Legenda Tepian Musi (Yudhy Syarofie; Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan; 2008) 

2 komentar:

  1. Politik memang terkait dengan perempuan

    BalasHapus
  2. Perempuan ada di sekitar kekuasaan, kunjungan balik ya ke blog saya www.goocap.com

    BalasHapus