Entri Populer

Kamis, 04 Agustus 2011

Sepotong Cinta di Samirejo

LANGKAH kaki kami menapaki jalan beton yang sebagian telah berlubang. Di kirii dan kanan jalan, yang sedikit lebih lebar daripada jalan setapak itu, tampak tanah kering yang ditumbuhi rerumputan. Sebagian lagi, padi lebak yang sebagian bulir buahnya telah menguning. Menjelang pukul 10.00, matahari mulai naik mendekati posisi tegak lurus.
Sempat dua kali kami bertanya dengan warga di Desa Mariana Ilir, Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin itu.
“Maaf, Pak. Tempat penes yang dulu di mana, ya?”
Penes?”
“Ya, yang dulu ditemukan di daerah sini. Penes Sriwijaya.”
“O, itu. Mungkin sudah tidak ada lagi,” jawab lelaki paruh baya itu, sambil menggaruk kepalanya.
“Ya, sudah pasti tak terlihat. Dulu dibenamkan di lebak.”
“Ya, ya. Benar. Nah, ambil jalan ini, lalu lurus. Nanti belok kanan, belok kiri lagi setelah di ujung,” jawabnya. Kini, nada suaranya terdengar riang.
“Terima kasih,” jawabku, sembari mengajak anggota tim untuk beranjak.
‘Eh, Pak. Masuk dulu, minum dulu lah,” kata lelaki itu lagi, tetapi kami sudah melangkah.

*          *          *

AKU tak pernah lagi mengunjungi tempat ini, setelah lima belas tahun silam. Semua berubah. Karena itu pula, aku mengalami disorientasi arah.
“Kak, barangkali, jalan beton ini sengaja dibangun untuk menuju lokasi situs,” kataku kepada Solahudin Ilyas, peneliti pendamping.
“Ya, sangat mungkin. Kalau sekadar jalan pemukiman, kan hanya berapa rumah yang dilaluinya,” kata Kak Udin, demikian dia biasa kusapa, merujuk pemukiman yang sangat jarang itu. Sementara Daru, menekuri jalan, sambil sesekali melihat pohon para (Hevea brasiliensis) yang telah tumbuh tinggi tetapi berbatang kurus di sebagian tepi jalan.
Selama beberapa waktu. Aku bersama teman-teman berkeliling Kota Palembang, Kabupaten Ogan Ilir, dan Banyuasin. Kami mengumpulkan berbagai bahan, untuk melengkapi materi buku yang sedang kutulis, Bidar; Cermin Filosofis Budaya Tepian Sungai. Mengapa Samirejo? Soalnya, tinggalan arkeologis di daerah ini sangat penting untuk diinventarisasi mengingat kepingan papan penes –sebutan masyarakat Palembang dan Sumsel untuk pinisi atau kapal layar—itu merupakan bagian yang penting dari sistem transportasi air. Bicara bidar, harus pula bicara mengenai kapal-kapal pada masa sebelumnya, sebagaimana bicara Paembang harus diawali dengan Sriwijaya dan masa terdekat dengannya.
Kami pun tiba di sebuah rumah berdinding bata, dan sebagian tidak diplester. Seorang perempuan, berusia sekitar 60-an tahun keluar. Lama dia memandang.
“Maaf, si Mbah rabun,” katanya.
Kemudian, dia menyuruh salah seorang cucunya untuk menemani kami ke lahan di belakang rumahnya. Aku pun memotret. Beberapa kali jepretan dari beberapa angle. Lahan itu, dengan pematang di sekelilingnya, bertanah kering. Semak dan rerumputan yang tumbuh di atasnya terlihat tidak terlalu tinggi. Berbeda dengan lahan-lahan sejenis di dekitarnya. Dua ekor sapi merumput, tidak terganggu oleh aktivitas kami.
Subhanallah, inilah tempatnya, tak jauh berbeda dengan masa lima belas tahun lalu, kala aku datang kemari. Lahan ini akan berlumpur saat musim hujan dan Sungai Musi sedang pasang naik. Namun, tak ada tanda kalau di tempat ini, tersimpan haarta karun ilmu pengetahuan. Bukti yang memerkuat bahwa pusat Kerajaan Palembang memang berada di Kota Palembang.
Di tempat ini, dahulu ditemukan sisa-sisa perahu kuno dari masa 610-775 Masehi. Pertanggalan itu diperoleh dari uji karbon (C-14) atas sembilan papan kayu dan sebuah kemudi sepanjang 23 meter. “Puing” papan, yang panjangnya mencapai 7 meter berikut  serpihan tali ijuk (Arrenga pinnata), itu ditemukan terkubur di lebak ini. Untuk memeliharanya agar tak rusak, tim arkeologi kemudian memutuskan untuk kembali memendamnya di tempat yang sama.
Sambil memandang lazuardi biru, yang berbatas dengan deretan pohon gelam () di kejauhan sana, aku membayangkan bagaimana luasnya Sungai Musi dahulu. Seperti halnya Sungai Musi di kawasan Palembang, telah terjadi penyempitan pada lebarnya. Sehingga, masa sekitar 13-14 abad lalu, sangat wajar bagian kawasan ini merupakan bagian dari sungai itu.
Aku membayangkan, melihat dari angka tahun serpihan kapal ini, dapat saja itu merupakan salah kapal yang dipakai Dapunta Hyang dalam perjalanan sucinya, yang dilanjutkan dengan pendirian wanua di Karanganyar (Prasasti Kedukan Bukit, 16 Juni 682 Masehi). Mungkin pula, kapal ini merupakan bagian dari armada Sriwijaya dalam usaha penaklukan wilayah pelabuhan, baik di utara maupun selatan kerajaan besar itu. Bukankah Sriwijaya melakukan ekspansi besar-besaran ke negeri-negeri tetangga untuk menguasai jalur perdagangan Nusantara?
Di tempat ini pula, konon pernah ditemukan mangkuk keramik dan tempayan dari Dinasti Yuan (1279-1368), pecahan manik-manik, pecahan bahan kaca, bahkan emas. Lantas, bagaimana pihak-pihak terkait memerlakukannya?
Saat aku melamunkan hal-hal itu, si empunya rumah muncul. Tongkat di tangannya tampak bergetar.
“Si Mbah kena rematik. Tidak kuat berjalan,” katanya. Matanya yang rabun masih terus menatapku.
“Mbah Lanang di mana, Mbah?” tanyaku, sambil melihat sekeliling.
“Aduh Gus (Bagus), dah ninggal,” katanya, sembari tangannya menepuk-nepuk dadaku.
Innalillahi wa inna illaihi rajiun.”
“Gus dulu pernah kemari, kan?”
Aku mengangguk.
“Ayo, masuk dulu,” katanya, sambil berjalan pelan.

*          *          *

Di ruangan tengah rumahnya, yang tak lebih luas dari ruang depan (tamu?), terbentang karpet kecil. Bersama teman-teman, aku duduk di sini, berhadapan dengan Mbah Nurjanah –nama perempuan itu—sambil berbincang ringan.
“Dulu, waktu Pak Maun datang, dia senang sekali,” kata Mbah Nurjanah, membuka perbincangan di ruangan itu.
Yang dimaksudnya dengan Pak Maun adalah Pierre-Yves Manguin, ahli arkeologi maritim dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis Untuk Timur Jauh), yang melakukan rekonstruksi atas kepingan-kepingan kayu sisa kapal itu. Dari rekonstruksi Manguin inilah, didapat fakta bahwa teknologi kapal itu berbeda dengan teknologi perahu kuno model Cina. Apabila teknologi Cina menggunakan bilah-bilah kayu untuk mengencangkan bagian lambung serta paku (bahan besi) untuk menguatkan kerangka dan dinding penyekat; teknologi perahu di Samirejo ini sangat berbeda. Menurut Manguin, teknologi yang digunakan pada perahu Samirejo adalah teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat (sewn plank and lashed-lug technique). Teknik rancang bangun perahu seperti ini, menurut Manguin, hanya berkembang di perairan Asia Tenggara. Tonjolan segi empat (tambuku) digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading. Pengikatnya berupa tali ijuk yang dimasukkan pada lubang di tambuku. Untuk memerkuat ikatan tali ijuk, digunakan pasak kayu.
Teknik pembuatan perahu jenis ini diperkirakan sudah ada sejak masa awal Masehi. Bukti tertua penggunaan teknik ini dijumpai pada sisa perahu kuno di situs Kuala Pontian di Tanah Semenanjung, yang berasal dari abad III-V Masehi. Dengan demikian, ini merupakan salah sau bukti lagi –di samping parasasti-prasasti, juga sisa kapal di Karanganar, Kolam Pinisi, juga beberapa bentuk serpihan kapal di beberapa daerah lain di wilayah Sumsel—untuk keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang.
“Dulu, si Mbah pernah dapat batu, pecahan kaca, dan emas. Emasnya seperti cincin, tapi tidak cukup untuk jari anak bayi. Orang yang punya toko emas, tidak berani membelinya,” kata Mbah Nurjanah, mengenai temuan lain yang pernah didapatnya di lahan seluas lebih kurang 1 ha itu.
Sekarang, di mana temuan-temuan itu?
“Hilang, bersamaan dengan meninggalnya Mbah Lanang,” katanya.
Mbah Nurjanah juga menunjukkan SK pengangkatan Maryono, putranya, sebagai juru pelihara situs. SK itu dikeluarkan tahun 1993.
“Ya, si Mbah pernah terima seragam dan honor. Sekali, Rp400 ribu.”
“Setelah itu?”
“Ya, ndak ada lagi.”
Aku mengucap istighfar. Artinya, selama lima belas hingga enam belas tahun terakhir, Mbah Nurjanah bekerja tanpa dibayar. Padahal, untuk menjaga lahan tempat puing perahu itu “disimpan”, dia terpaksa tidak memanfaatkannya untuk bertanam padi ataupun sayur-sayuran.
“Tidak berani mencangkulnya, nanti rusak. Kalau rumputnya, Mbah potong terus,” katanya.
Kekagumanku semakin bertambah kepada perempuan ini. Ternyata, dia memiliki sedemikian besar cinta, di samping cinta kepada almarhum suaminya, Tohir, dan anak serta cucunya.
Kami pamit. Sebelum kami menjauh, Mbah Nurjanah masih berkata, “Gus, sampeyan sekarang kok gedhe. Dulu, si Mbah lihat masih cilik.”
Aku tertawa. Rupanya, dia masih terus berpikir dan mengingat sosokku. Gedhe yang disebutnya itu merujuk kepada tubuhku, yang kini cenderung kena obesitas. Berbeda dengan kondisi sekian belas tahun lalu, kala aku masih sebagai mahasiswa.
Kami melangkah. Sepanjang perjalanan, aku masih memikirkan sepotong cinta di Samirejo. Cinta tulus yang dimiliki seorang Nurjanah, perempuan tua yang matanya telah rabun dan tulangnya dihinggapi rematik. Aku teringat pada pepatah Inggris, “Do all things with love, and love will touch everything to do”.
Subhanallah. Cinta itu demikian besar, walau kusadar, Mbah Nurjanah sama sekali tidak pernah mendengar pepatah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar