Entri Populer

Sabtu, 06 Agustus 2011

Bulan di Pangkuan Nyimas Naimah

BULAN bulat di langit tampak begitu benderang. Mata Nyimas Naimah menatap lurus ke atas dalam baringnya. Kekagumannya pada benderang bulan itu sedemikian besar. Lewat lubang di kajang angkap, sepotong kaca yang dipasang di antara susunan genting memberikan keleluasaan baginya untuk memandang sang bulan.
Sejak tadi, dia tak mampu melepas pandang. Beberapa kali dia berbalik. Berbaring miring, setengah tengkurap, lalu telentang. Rasanya, tak ada yang lebih nyaman dibanding posisinya saat ini. Sejak masuk peraduan, dia sulit memejamkan mata. Sementara adiknya, Nyimas Perak, telah lama lelap di sampingnya.
Usai salat Isya, Naimah dan Perak menidurkan adik mereka, Kemas Zaudin, dengan buaian. Setelah si adik tidur, mereka pun memilih memasuki keputren untuk tidur. Berbeda dengan Perak yang tak sulit memejamkan mata, Naimah merasakan pekerjaan yang sangat mudah itu sedemikian sulitnya.
Diangkatnya bantal guling dari pelukan, mengangkatnya, lalu menutupkan ke kepala. Dia berharap, dengan demikian, dia dapat tidur. Nyatanya, masih tak mampu juga. Dilepasnya bantal guling, lalu kembali dalam keadaan semula, menatap lubang pada kajang angkap.
Dalam pandangannya, bulan di atas sana semakin membesar saja. Semakin lama, semakin bulat dan besar. Ah, tidak, bisik hatinya. Bukan semakin besar, melainkan semakin rendah. Naimah mengucek-ngucek matanya. Tetap saja bulan itu merendah, hingga ke atas genting rumah. Gelisah, Naimah beranjak duduk, tetapi pandangannya tetap tertuju kepada sang bulan.
Kini, bulan itu tidak menerobos masuk lewat kaca yang tersisip di genting, menurun lagi masuk ke keputren lewat lubang di kajang angkap. Warna emas menghias keputren. Bulir keringat, yang tadi baru menembus pori-pori Naimah, kini semakin menderas. Bulan itu terus turun, dan Naimah tengadah. Perlahan, sang bulan mendarat di pangkuannya.
“Amboi, betapa terangnya!” kalimat itu meloncat begitu saja dari mulut Naimah.
Rasa cemas kini berganti menjadi kagum. Didekapnya erat sang bula. Kini, tubuh Naimah pun berubah menjadi keemasan. Matanya berbinar terang, seterang cahaya bulan dalam dekapannya.

*          *          *

CEK, bangun. Istighfar.”
Perak mengguncang-guncang tubuh kakaknya. Naimah masih tersenyum dalam tidurnya. Tangannya erat memeluk guling. Sementara bantalnya basah kuyup oleh keringat.
Cek!”
Kali ini, dengan teriakan yang cukup keras. Naimah terbangun, tersentak duduk.
Perak?”
Istighfar, Cek.”
Setelah mengucek-ngucek matanya, Naimah sejenak memandang adiknya.
Istighfar.”
Astaghfirullah al adziem.”
Perak beranjak dari tempat tidur. Menuangkan air ke cangkir yang terletak di atas meja kecil di kamar itu. Lalu, menyodorkannya kepada sang kakak.
Naimah menyambutnya, lalu meneguk air itu. Seolah masih tak sadar, dia mengembalikan cangkir.
Perak kini duduk di bibir tempat tidur. Diusap-usapnya kening Naimah yang basah oleh keringat. Sang kakak masih diam. Pandangan matanya seolah mencari-cari sesuatu. Namun kemudian, dia menarik napas panjang, lalu mengusapkan kedua belah telapak tangannya ke wajah.
 “Hanya mimpi.”
Kata-kata itu keluar dari mulut Naimah serupa desahan. Perak merasa tak cukup mendengarnya.
“Apa?”
“Hanya mimpi.”
Jawaban itu nyaris tak berirama. Meluncur begitu saja. Perak pun tak ingin mendesak.
“Sudahlah. Kata orang bijak, mimpi itu bunga tidur. Sekarang. Tidurlah kembali,” kata Perak dengan lembut.
Penuh kasih, dirapikannya kembali bantal yang menjadi alas kepala kakaknya, lalu dengan perlahan membaringkan tubuh Naimah. Selanjutnya, dia menyusul tidur di samping Naimah, dengan berjuta tanya di hati.
Naimah berbaring. Namun, matanya tak mampu terpejam hingga kokok ayam terdengar.

*          *          *

SEGENAP anggota keluarga itu duduk khidmat di ruang gegajah rumah mereka. Kemas Jompong duduk di atas amben. Di sisi kanannya, Nyayu Badariah duduk diam. Di samping kiri, istri keduanya, Siti Zahara binti Datuk Nakhoda duduk sambil memangku Zauddin. Di depan mereka, Naimah dan Perak duduk menekuri alas amben.
“Istri-istriku dan anak-anakku,” suara berat Jompong memecah keheningan. “Kuharap, cerita mimpi ini kita cukupkan sampai di dalam ruangan ini saja. Kuminta, kalian tidak lagi membicarakan apa pun. Tak perlu mengulang kisah mimpi Naimah, apalagi kata-kata jurufalak tadi.”
Engge,” serentak jawaban itu keluar dari mulut para istri dan anaknya.
Mimpi Naimah memang ditutup rapat di rumah itu. Tidak pula dapat keluar dari sekerem yang tertutup di pintu menuju ruang jogan, apalagi sampai menelisik ke bide yang menghadap Sungai Musi. Semua mematuhinya.
Perak pun tak ingin lagi membahas masalah mimpi kakaknya. Apalagi, perkataan jurufalak, mengenai makna mimpi itu.
Entah ada orang yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan keluarga ini, ataukah jurufalak telanjur bicara di luar, nyatanya, bisik-bisik mulai terdengar. Apabila Naimah atau Perak terlihat keluar rumah, para perempuan pun sak-sik dengan sesamanya.
“Lihat, calon istri sultan lewat.”
Sst... itu kakak ipar sultan hendak ke mana?”
Lalu, terdengar tawa yang seolah ingin disembunyikan. Mak Rajo, yang selalu mendampingi Perak dan Naimah apabila keluar rumah, mendelikkan mata. Para perempuan itu pun tersipu, lalu pergi dengan gegas.
Pada kesempatan lain, mereka pun dengan terang-terangan melontarkan kata-kata sindiran. “Aduhai, pungguk yang malang. Tak ada pula batang besar yang dipanjat ‘tuk meraih sang rembulan.”
Cemooh demi cemooh mengalir ibarat arus Sungai Musi yang tenang tetapi berarus dalam. Menghadapi itu, Naimah berusaha menyabarkan hatinya. Demikian pula dengan Perak. Mereka tetap pada kegiatannya. Namun kini, keduanya semakin jarang saja terlihat berjalan lebih jauh dari ujung tangga rumah mereka.

*          *          *

LA ilaha illallah kul mulikul hakkul mubin
muhammad rasulullah halikul ba’dul amin
perahu kajangnyo solat, kemudinya yo iman tauhid
tiangnyo cagak shalawat, muatannyo yo zikirullah

Laila si kuning jiwo
bilik kecik muat beduo
biar ancur biar binaso
samo kasur samo kelaso

La ilaha illallah kul mulikul hakkul mubin
muhammad rasulullah halikul ba’dul amin
perahu kajangnyo solat, kemudinya yo iman tohir
tiangnyo cagak shalawat, muatannyo yo zikirullah

Bobok bobok kau si nangko
jangan timpo si batang padi
nak tiduk kau la mato
jangan cinto si uwong tadi

Berganti-ganti Perak dan Naimah nenggung untuk adik mereka. Di buaian, Zauddin telah pulas. Lagu-lagu yang dinyanyikan Perak dan Naimah pun semakin perlahan. Sementara denging suara serangga malam yang berada di pepohonan sekitar rumah mereka seolah menjadi musik pengiring. Suara-suara itu ditingkahi gesekan batang dan daun bemban yang bergoyang diombang gelombang sungai. Riak air membentur-bentur cagak rumah menambah harmoni musik alam itu.
Perak memandang Naimah. Sorot matanya tertuju sesaat ke dalam buaian. Naimah menempelkan telunjuknya di bibir, lalu memiringkan kepala sambil menjadikan telapak tangannya sebagai penopang. Itu pertanda, dia meminta agar mereka menunggu beberapa saat lagi, sebelum Zauddin benar-benar lelap.

*          *          *

PENCALANG meluncur perlahan. Riak air yang dipecah lunas berlari ke tepi. Garis-garisnya yang bergelombang menimbulkan kilatan saat ditimpa cahaya dari obor yang terpasang rapi di tubuh perahu itu.
Di bawah kajang yang menutupi bagian belakang pencalang, seorang lelaki paruh baya duduk bersila. Dari balik sorban yang menutupi kepalanya, menjuntai rambut ikal yang sebagian telah memutih. Sorban itu melengkapi penampilan sebuah wajah berbentuk oval, dengan alis tebal dan lengkungan mata yang dalam. Di antara dua mata yang tajam tetapi memancarkan cahaya keteduhan itu, tampak batang hidung yang tinggi. Di bawah puncak hidung, kumis dan janggut yang bersambung ke cambang seolah melindungi bibir yang tarikannya melambangkan ketegasan sikap. Ini ditambah rahang kukuh, tempat bergantung cambang, yang sebagian telah memutih pula.
Tangan lelaki itu tertumpu di ujung paha. Ibu jarinya merunut satu per satu butiran tasbih. Di tengah kegiatan itu, mata sang lelaki tetap awas terhadap sekitarnya. Di sisi kiri dan kanannya, agak ke muka, dua lelaki lain, dengan jubah hampir serupa, duduk bersila. Sekitar dua tindak dari tiga lelaki ini, dua lelaki lain siaga dalam posisi setengah duduk, dengan lutut bertumpu pada lantai perahu. Di dekat mereka, tampak sederetan tombak dalam posisi matanya mengarah ke langit.
Di bagian muka, enam lelaki –tiga di sisi kanan dan tiga di sisi kiri—mengayunkan dayung dengan irama tetap. Di depan mereka, seorang lelaki di ujung perahu, mengawasi aliran sungai.
Sejuring bulan di langit. Cahayanya tidaklah cukup menjadi penerang malam. Pencalang terus melaju ke arah hilir. Di sisi kanan, nyala api kecil-kecil yang berderet tampak menari seiring gelombang sungai. Rumah rakit, yang menjadi tempat nyala api itu, diam tanpa suara. Sepertinya, penghuni mereka telah lelap dialun gelombang.
Di sisi kiri, tampak deretan rumah yang sebagian tiangnya menusuk tepian sungai. Sehingga, cagak-nya sebagian berada di dalam air. Di antara tempat kosong tanpa rumah, beragam pepohonan menjuntaikan dahan dan rantingnya ke air. Kerlip kunangkunang menghias dedaunan yang bergerak lembut oleh tiupan angin.
Tiba-tiba, lelaki pemegang tasbih menepuk pundak lelaki yang berada di sisi kirinya, sementara wajahnya tetap mengarah ke kiri perahu.
“Maaf, Paduka. Apakah gerangan yang merisaukan hati Paduka?” kata lelaki yang ditepuk pundaknya. Lelaki yang berada di sisi kanan, turut mengarahkan pandangan ke tempat pandangan lelaki yang disebut Paduka itu tertuju.
“Tidak, Mamanda. Tak ada kerisauan. Tetapi, adakah Mamanda berdua melihat sesuatu yang aneh di tepian sana?” katanya mengarahkan ibu jari ke tepian sungai.
Mendengar itu, lelaki ini bertepuk dua kali. Lelaki di ujung perahu pun mengarahkan dua telapak tangannya kepada para pendayung, yang segera menghentikan gerakannya. Kemudian dua telapak tangan itu ditolak-tolakkan dengan perlahan. Para pendayung pun kembali bergerak, tetapi dengan arah sebaliknya. Dayung ditolakkan ke depan, sehingga perahu kini bergerak mundur. Di tempat tadi pundaknya ditepuk, lelaki pemberi isyarat meminta agar gerak perahu dihentikan.
“Maafkan hamba, Paduka. Apa yang membuat Paduka merasa tertarik dengan tempat ini?”
Kini, lelaki yang berada di sebelah kananya yang berbicara. Paduka pun memandang wajah lelaki di sampingnya. Dia berusaha mencari jawaban di balik wajah yang tenang dan teduh itu.
“Tadi, tidakkah Mamanda berdua melihat, ada kilatan cahaya yang sangat terang dari arah sana,” katanya sembari mengarahkan ibu jari ke tepian sungai.
“Maaf, Paduka. Tampaknya, cahaya itu berasal dari kunangkunang, yang memang banyak kita jumpai sejak tadi,” jawab lelaki di sebelah kirinya.
“Bukan, Mamanda. Kalaulah dia kunangkunang, takkan muncul cahaya sebenderang itu. Aku betul-betul melihat, cahaya itu seolah memancar dari sana, sehingga menyilaukan mataku.”
Dua lelaki lain saling berpandangan. “Mamanda lihat, itu bukan pula rimbunan pohon atau kumpulan perdu. Dari bayangannya, pastilah itu sebuah rumah. Dan, cahaya yang tadi kulihat, berasal dari rumah itu,” lanjut lelaki ini, dengan suara penuh wibawa. Tatap matanya tak lepas dari tepian sungai yang dimaksudnya.
Lelaki di sebelah kanan mengambil prakarsa untuk bicara.
 “Maafkan kami, Paduka. Sekiranya Paduka berkenan, ada baiknya kita sudahi perjalanan ini. Esok hari, kami akan mencari tahu, apakah gerangan yang ada di sana. Benar begitu, Adinda Natodirajo?”
Kalimat terakhir diarahkannya kepada lelaki yang berada di sisi kiri.
“Benar, Kakanda Natoagamo.”
Pencalang pun berbalik arah. Meluncur kembali ke arah hulu.

*          *          *

NAIMAH baru saja menapakkan kaki di garang, setelah tadi membasuh pakaian di pangkalan yang berada di depan rumahnya. Dia dikejutkan sebuah perahu semawo yang secara tiba-tiba nyunggut di pangkal tangga.
“Assalammualaikum.”
“Waalaikummussalam,” jawab Naimah. Cepat dia menarik ujung kemben libar-nya hingga menutupi sebagian wajah.
Cik, ini kayu bakarnya,” kata lelaki yang berada di dalam perahu. Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu mengangkat ikatan kayu kering dari perahunya ke atas garang.
Dari balik penutup kepala lebar yang dikenakan lelaki itu, Naimah dapat menduga-duga usianya. Dengan demikian, dia dapat mencari tuturan yang pas bagi lelaki itu.
“Maaf, Mang Cek. Rasa-rasanya, kami tidak memesan kayu bakar.”
“Ini pesanan mek niko,” kata lelaki itu, seolah tak peduli pada perkataan Naimah.
“Tapi,...”
“Tak apa. Kulo letakkan saja di sini,” katanya, kemudian gegas menuruni tangga, kembali ke perahunya.
“Tapi, Mang Cek. Tunggu sebentar, biar kulo ambil redano.”
“Tak apa, nanti saja,” jawab lelaki itu, sambil menolakkan lentung ke pangkal tangga. Perahu semawo-nya bergerak cepat ke tengah sungai.
Sambil terus mendayung, pikiran lelaki itu terus berbicara. Tadi, dia sempat melihat sekilas wajah gadis itu. Kendati telah tertutup oleh kemben libar, dia dapat menduga-duga bagaimana paras si gadis. Dari mata dan pangkal hidungnya yang terlihat sedikit, lelaki ini dapat mengambil kesimpulan, benarlah yang dikatakan Natodirajo. Bahwa, perempuan bernama Naimah, putri Kemas Jompong itu tidak tergolong sebagai perempuan cantik. Namun, seperti kata Natoagamo, lelaki ini dapat melihat bagaimana sari wajah Naimah. Ada pancaran cahaya, yang menandakan bahwa dia salah satu insan yang betuah.
Di tengah Sungai Musi, di tempat yang tidak terlihat Naimah, sebuah pencalang dengan rangkaian tombak terhias di depan kajang kecilnya, telah menunggu. Ke pencalang itulah perahu semawo ini menuju.

*          *          *

KEMAS JOMPONG bersama Nyayu Badariah dan Siti Badariah duduk berhadap-hadapan dengan seorang perempuan paruh baya di atas amben. Di lantai ruang gegajah, beberapa orang duduk bersila. Di depan mereka beragam barang terletak.
“Begitulah, maksud kami, Cek. Maksud telah disampaikan, kiranya dapat diterima sesuai harapan,” kata perempuan itu, sambil menyerahkan sebuah nampan beralas sutera sulam emas, yang menjadi alas sebilah keris.
Jompong memandang kedua istrinya berganti-ganti. Sang istri membalas pandangan itu, dengan anggukan yang sangat halus.
“Begini, Mak. Merupakan kehormatan tak terhingga bagi kami untuk menerima pinangan ini. Ibarat kata, di rumah ini, telah dionggokkan sebuah gunung emas. Namun, ada baiknya kami bertanya terlebih dahulu kepada putri kami. Bagaimana, apakah hatinya berkenan. Karenanya, dengan penuh rasa hormat, kami meminta waktu barang dua tiga hari untuk menjawabnya.”
“Maafkan kulo. Sesuai pesan yang kami bawa, jawaban harus kami dapat hari ini juga. Yang Mulia Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo telah meminta demikian. Sekali lagi, maafkan kami,” kata Palak Rasan itu, sambil mengarahkan tangannya kepada orang-orang yang duduk di lantai gegajah.
Kembali Jompong memandang kedua istrinya. Badariah, sebagai ibu kandung Naimah, kemudian beranjak dari amben. Dia masuk keputren, tempat Naimah dan Perak berada, selama kunjungan yang sungguh tak diduga itu. Benar tak diduga. Pagi hari, datang utusan yang mengatakan bahwa seoang Palak Rasan bersama rombongan akan bertamu. Pesan itu tak disertai siapakah yang dituju, juga siapa yang mengutus. Siangnya, selepas zuhur, rombongan ini pun tiba. Mereka mengatasnamakan sultan sebagai si empunya kehendak.
Selagi Badariah menemui Naimah, Jompong termangu diam. Hatinya berkata, benarlah mimpi Naimah tempo hari. Dan, sungguh tak salah jurufalak mengatakan bahwa Naimah bakal dipersunting lelaki yang agung.
Mak Rajo bersama beberapa orang menyeling lamunan Jompong. Sigap, mereka membentang alas kain, lalu meletakkan beragam penganan di hadapan para tamu. Wedang pun menyusul.

*          *          *

JAWABAN Naimah sesuai keinginan sultan. Dia menerima lamaran itu dengan dada lapang dan hati terbuka. Dia pun siap mendampingi Ratu Sepuh, Ratu Gading, dan Mas Ayu Ratu, permaisuri dan istri terdahulu siltan.
Ternyata, keesokan hari setelah sultan melihat pendar cahaya dari rumah Kemas Jompong pada perjalanan malam itu, Natodirajo mengutus seseorang untuk menyelidik. Hasilnya, di rumah itu ada dua gadis. Dan, sesuai petunjuk Natoagamo, gadis yang sangat mungkin memancarkan cahaya itu adalah Naimah. Sultan kemudian menyelidik sendiri, dengan menyamar sebagai penjual kayu bakar. Dari rangkaian itulah, pinangan terhadap Naimah diputuskan.
Sebagai mertua dalem, Ayah Naimah diangkat sebagai tumenggung, sehingga bergelar Tumenggung Jompong. Sultan dan Naimah kemudian membangun rumah di samping rumah Tumenggung Jompong, dan kampung mereka diberi nama Guguk Jeru Pager.
Cuplikan Buku Legenda Tepian Musi. Yudhy Syarofie. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan. 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar