Entri Populer

Jumat, 12 Agustus 2011

Usang Rimau

LELAKI muda itu termangu di bawah pohon yang besarnya hampir dua pelukan orang dewasa. Di bawah pohon, dekat akar yang juga tak terbilang besarnya, sebuah lubang menganga. Kosong. Gemerisik daun kering yang terinjak kaki mengagetkannya. Kakinya pun bergeser perlahan, dengan gerak membuka. Kedua tangannya terkepal, sedangkan ekor matanya cepat menuju arah suara.
“Ingsal?”
Suara itu keluar dari mulut seorang lelaki, yang datang dari arah belakangnya.
“Kak Terang?”
Lelaki muda itu cepat menarik kembali kakinya. Begitupun kedua tangannya, segera dilemaskan.
“Ya, Dik. Kau lebih dahulu tiba, rupanya.”
“Benar, Kak. Tetapi, cincin itu sudah tak ada lagi.”
Terang segera mendekati adiknya. Matanya pun ditujukan ke lubang di depan Ingsal. Keduanya berpandangan, lalu mengangguk.

*          *          *

“Rumah kita tampak lebih bagus. Artinya, Kak Buku Nyawo memang telah pulang lebih dahulu,” kata Terang.
Keduanya mendekati tangga, bergantian mengambil timbuk dari batok kelapa, lalu menyaukkannya ke air dalam pasu, menyiramkan ke kaki masing-masing. Keduanya merasakan kekukuhan rumah itu setiap menginjakkan kaki ke tiap anak tangganya.
Tak ada jawaban saat keduanya mengetuk. Terang mencoba mendorong daun pintu. Tak terkunci. Tak ada siapa-siapa di dalam. Rumah itu tampak bersih dan rapi.
Terang Nyawo dan Ingsal Nyawo melangkah lebih ke dalam. Kelaso terhampar di ruang depan. Di muara pintu, terlihat buaian kain yang tergantung di rusuk pintu. Namun, tak ada bayi di dalamnya. Sampai ke dapur, keduanya tetap tak menjumpai siapa-siapa.
“Dik, tampaknya kakak kita telah beristri dan punya anak,” kata Terang, ketika keduanya kembali menuju ruang depan.
Sembari melirik ke arah buaian, Ingsal menganggukkan kepalanya.
“Tetapi, Kak. Tampaknya Kak Buku Nyawo bersama istrinya tak ada di rumah. Mereka juga pasti membawa anaknya.”
“Sepertinya memang begitu,” jawab Terang.
Keduanya kemudian memutuskan untuk beristirahat senyampang menunggu kepulangan kakaknya. Saat bayangan pondok tak terlihat lagi di kiri, kanan, belakang, dan depannya, kedua kakak beradik ini merasa lapar. Karena merasa itu juga rumah mereka, keduanya kemudian melangkah ke dapur. Namun, tak ada makanan yang mereka jumpai.
Sebuah cupak yang berada di dekat keran menarik perhatian mereka. Benar saja, cupak itu berisi penuh beras. Tangkas Ingsal mencuci beras, memasukkannya ke dalam kenceng, lalu menjerangkannya di atas keran. Saat Ingsal memasak, Terang berusaha mencari-cari, mungkin saja ada bahan makanan lain yang dapat mereka jadikan lauk siang itu. Matanya pun tertuju ke bumbung bambu yang terselip di atas parapara dapur.
“Dik, Kak Buku Nyawo rupanya menyimpan pekasam. Makan besar kita hari ini,” katanya.
“Betul juga, Kak,” kata Ingsal, menghentikan sementara kesibukannya meniupkan udara ke kayu api lewat kerompong yang dipegangnya. “Tadi, aku lihat labu parang dan lepang yang ditanam di bawah garang telah berbuah juga.”
“Betul, Dik. Kalau begitu, biar aku yang memetiknya,” ujar Terang. Ada keriangan pada nada suaranya. Gerakannya gesit, seolah melompat, dia turun pondok dengan gegas.

*          *          *

“BANYAK yang harus kita pelajari, dan itu takkan kita dapat kalau tetap berdiam di tempat ini.”
Buku Nyawo membuka pembicaraan. Kedua adiknya berdiri menekuri tanah. Baru beberapa saat mereka memakamkan ibu mereka. Kini, hanya mereka bertiga di rumah itu. Ayah mereka telah meninggal dunia bertahun-tahun lampau.
“Jadi, sebaiknya kita tinggalkan dahulu rumah kita ini untuk beberapa lama. Di negeri lain, tempat tujuan kita kelak, kita cari ilmu sebanyak-banyaknya. Setelah cukup, kita kembali kemari,” katanya.
Ketiganya bertatapan. Terasa berat untuk berpisah bagi ketiganya. Sejak kecil, mereka selalu bersama. Mereka pun selalu bersama saat mengerjakan umo. Senyampang padi berbuah hingga bernas, sungai menyediakan banyak ikan dan udang untuk ditangkap. Tiba masa ikan ngempas, ketiganya pun bersama menangkapi induk ikan yang sudah memijahkan telur atau anaknya. Karena ikan yang dipanen sangat banyak, sebagian mereka keringkan. Sebagian lagi dibuat pekasam. Saat ayah mereka meninggal dunia, ketiganya menjadi pelindung sekaligus andalan bagi ibu mereka. Kini, sang ibu telah tiada.
“Aku pun ingin melihat negeri lain. Juga, banyak yang kupelajari, selain yang sudah kita dapat bersama di tempat ini.”
Terang Nyawo mengeluarkan isi hatinya. Dua saudaranya yang lain tak menjawab. Mereka punya keinginan yang sama. Melihat negeri lain, belajar banyak hal, lalu kembali.
“Baiklah, adik-adikku,” kata Buku Nyawo. Dia mengeluarkan ponjen dari celananya. Ditumpahkan isinya ke telapak tangan. Sebentuk cincin. “Ini cincin ayah kita. Kutanam cincin ini. Apabila kelak kita kembali, galilah tanahnya dan ambil cincinnya. Itu sebagai pertanda bahwa salah satu dari kita sudah pulang terlebih dahulu.”
Usai berkata demikian, cekatan Buku Nyawo menggali tanah di bawah pohon, dekat akarnya yang besar dan kukuh. Hanya dalam beberapa kejap, pekerjaannya itu selesai.
Ketiganya berpelukan. Kemudian, menjadikan pohon itu sebagai persimpangan dengan masing-masing memilih jalan ke kanan, kiri, dan lurus.

*          *          *

 PERTEMUAN tiga saudara itu demikian membahagiakan. Apalagi, kini anggota keluarga mereka telah bertambah. Keceriaan mewarnai pertemuan itu. Si kecil, anak Buku Nyawo yang baru belajar berjalan, bergelayut manja; berganti-ganti di pelukan dua pamannya.
“Lihat, Kak. Baru bertemu, dia sudah randik kepadaku,” kata Ingsal Nyawo, diringi tawa riang.
“Rasanya, dia lebih randik kepadaku,” kata Terang Nyawo, tak mau kalah.
Seolah mengerti dirinya sedang “diperebutkan”, si anak semakin jadi kemanjaannya. Tawa memenuhi ruangan itu. Lima anak manusia itu diliputi keriangan yang sangat.
Penat dengan canda tawa, tiga kakak beradik itu berkisah tentang kelana mereka. Si sulung, yang tiba di suatu negeri, sempat menimba ilmu bercocok tanam. Dia pun sempat menerapkan ilmunya itu, hingga kemudian mendapatkan jodoh, yang kini telah memberinya seorang anak. Setelah lebih dari lima kali usim ngetam, dia memutuskan untuk kembali ke rumah mereka.
Akan halnya Terang Nyawo, telah mendapatkan ilmu kesaktian dalam pengelanaannya. Selain kemahiran berkelahi, dia juga memiliki kemampuan melompat jauh. Dia bahkan dapat menyeberangi sungai hanya dengan sekali lompat dari tepian ke tepian.
Si bungsu mengeluarkan sepotong kayu, yang bagian tengahnya berlubang. Tanpa berkata-kata, dia memukulkan tongkat kecil ke potongan kayu itu. Tak ada suara. Namun, semua yang berada di ruangan itu mendengar sayup-sayup suara kayu yang dipukul. Nun di kejauhan sana.
Ah, luar biasa, adikku,” kata Buku Nyawo kepada sang adik.
“Ya, Kak. Ini namanya getuk. Di negeri tempatku belajar, getuk ini dipakai untuk mengumpulkan orang,” jawabnya, dengan nada rendah.
“Bagaimana bubul di kakimu?”
Ingsal mengangkat kaki kirinya, tampaklah semacam daging menonjol dan tampak lebih keras daripada bagian telapak kaki lain di sela ibu jarinya. Setelah itu, Ingsal berdiri, lalu berjalan. Tampaklah langkah kakinya tidak tegap. Dengan tubuhnya yang kecil, lelaki ini tampak tidak memiliki kemampuan apa-apa.
“Walaupun berjalan kincat, kakak-kakak tak perlu khawatir. Aku telah menguasai banyak ilmu untuk menjaga diri,” katanya. Walaupun apa yang dikatakannya merupakan sesuatu yang luar biasa, nada suaranya tetap rendah.
Semua gembira, karena perjalanan mereka hingga jauh ke negeri orang, telah membawa hasil yang sangat baik. Tiba-tiba, istri Buku Nyawo terhenyak dari duduknya.
“Kak, adik-adik kita belum makan. Pastilah mereka sangat lapar. Ah, mengapa pula sampai kita terlupa,” katanya kepada Buku Nyawo.
Sang suami pun tak kalah kagetnya.
“Adik-adikku, maafkanlah kami. Karena rasa senang, kami sampai lupa menyediakan makanan,” kata Buku Nyawo, yang meraih anaknya dari gendongan sang istri.
“Kak, Mbuk, usah repot. Kami tadi sudah makan,” kata Terang Nyawo.
“Sudah makan? Tak ada lauk yang kami tinggalkan,” kata Buku Nyawo.
“Labu parang dan lepang yang kakak tanam, telah baik untuk dipetik,” sergah Ingsal.
“Ya, kami pun mendapat pekasam simpanan kakak. Sungguh sedap,” kata Terang.
Pekasam?”
“Ya.”
“Dik, kau membuat pekasam?” kali ini, perkataan Buku Nyawo diarahkan kepada istrinya. Si istri menjawab dengan gelengan.
“Dari mana pekasam itu?” kata Buku Nyawo kepada kedua adiknya.
Kali ini, Ingsal dan Terang saling berpandangan.
“Di parapara dapur,” ujar keduanya, hampir bersamaan.
“Makan rimau!”
Teriakan Buku Nyawo mengejutkan semua orang di ruangan itu. Dua adiknya saling berpandangan. Ada rasa bingung di hati keduanya. Mata mereka pun mengarah kepada keponakannya, kakak ipar mereka, lalu Buku Nyawo.

*          *          *

“SUNGGUH, Kak. Aku tak tahu lagi di mana muka ini akan ditaruh.”
Ingsal berjalan merunduk. Di sampingnya, sang kakak berlaku sama. Keduanya, dengan langkah gontai, menyusuri kembali jalan menuju rumah mereka. Namun, kini mereka menuju ke arah sebaliknya.
“Bagaimana mungkin, kita tak mengetahui bahwa itu tembuni. Sungguh, aku merasa sangat malu kepada ipe kita. Ah,” kesah Ingsal.
“Sebetulnya, akulah yang salah, Dik. Aku sama sekali tak selik-selidik. Mestinya, aku tahu. Mengapa pula aku tak terpikir? Seharusnya, kita tidak gegabah menganggap isi bumbung itu sebagai pekasam karena kita telah melihat buaian,” kata Terang, seolah kepada dirinya sendiri. 
Sepanjang perjalanan, pikiran mereka diliputi rasa malu dan sesal. Hingga akhirnya, mereka tiba di dekat pohon besar, tempat yang menjadi titik perpisahan sekaligus pertemuan mereka saat memutuskan untuk merantau.
 “Dik, di sinilah batas kebersamaan kita. Dan, aku telah memutuskan untuk tidak kembali lagi kemari. Sekiranya usia kita panjang dan kita masih punya kesempatan untuk bersama, kita akan berjumpa lagi,” kata Terang.
Si adik tidak menjawab dengan kata-kata. Hanya kembang air di matanya yang memberikan jawaban. Tanpa kata, mereka melepaskan pelukan, lalu mengambil jalan terpisah.

*          *          *

SEKIAN lama dalam kelana, Ingsal Nyawo telah menjejak banyak tempat. Keinginan yang kuat untuk menimba ilmu, membuat Ingsal tak ingin berdiam terlalu lama di suatu tempat. Saat pergi, dia milir. Kini, dia merasa ada baiknya apabila menuju ke hulu. 
Tangannya menyibak rumpun bemban dan sesekali kakinya lincah meniti lumpur di antara rerumpun kumpe. Ingsal terbiasa berjalan serupa ini sebab dia tak punya perahu untuk dikayuh. Kalaupun harus menempuh sungai, dia akan memotong batang pisang atau bambu unuk dirangkai menjadi lanting.
Di tengah sungai, tampaklah olehnya sebuah perahu melaju. Perahu dengan tiga penumpang itu pun memberikan tumpangan kepadanya.
“Ke manakah tujuan Tuan?” kata lelaki, yang memegang dayung.
“Ke mana pun Tuan hendak pergi,” jawab Ingsal.
“Jika begitu, boleh Tuan ikut. Syaratnya, seperti semua yang ada di jalur ini, kita bergantian mendayung.”
“Tetapi, Tuan, sayo tak pandai mendayung.”
Semua penumpang perahu memandang Ingsal. Ada rasa tak percaya pada wajah mereka. Namun kemudian, si pemilik perahu tersenyum.
“Sudahlah, nanti kita atur di perjalanan.”
Perahu kembali melaju. Benar saja, tiga lelaki di perahu itu mendayung secara bergantian. Saat berada di mulut sebuah sungai, yang bermuara di batanghari yang tadi mereka lalui, pemegang dayung terakhir menyerahkan pengayuh itu kepada Ingsal.
“Tuan, sayo tak pandai mendayung,” sergah Ingsal.
“Jangan main-main, Tuan. Semua penumpang perahu ini harus bergantian mendayung. Sekarang, giliran Tuan,” kata si lelaki, sembari menyodorkan dayungnya. Tindakannya itu didukung dua lelaki lain.
Ingsal menarik napas panjang. Namun, dia meletakkan dayung dan mengambil satang yang terletak di bagian dasar perahu.
“Maaf, Tuan-tuan. Seperti tadi sayo katakan, sayo tak pandai mendayung.”
Usai berkata, Ingsal menancapkan satang. Semua orang di perahu tersenyum saja. Dalam hati mereka, itu merupakan tindakan bodoh sebab satang yang dipakai hanya beberapa depa. Takkan mungkin satang itu dapat menyentuh dasar sungai yang demikian dalam. Namun kemudian, mereka terperanjat.
Semua dapat merasakan satang menghujam dasar sungai. Rasa terkejut semakin bertambah, saat Ingsal yang bertubuh kecil membuat sebuah hentakan. Perahu terdorong kencang. Semua berteriak. Belum senyap suara teriakan, perahu terpecah dua. Satu bagian meluncur bersama tiga penumpangnya, satu bagian lagi melesat bagai terbang bersama Ingsal.
Cukup lama juga tiga orang itu meluncur bersama kepingan perahu. Sambil terus berusaha mencari cara untuk menepi, mereka memegang erat penepak perahu. Sampai akhirnya, mereka melihat pokok pulai yang menjuntai di tepian. Basah kuyup, tiga lelaki itu bergelayutan di pohon yang telah condong itu. Setelah mencapai daratan, ketiganya memutuskan untuk menetap.
Kepingan perahu yang membawa Ingsal terus melaju ke hulu. Tak hanya sungai, anak sungai dan lebak pun dilaluinya. Hingga akhirnya, kepingan kayu itu terpelanting ke daratan. Sebelum kayu menyentuh tanah, Ingsal melompat sigap.

*          *          *

DI tempat pecahan perahu yang ditumpanginya itu jatuh melintang, Ingsal Nyawo mendirikan tempat tinggal. Tanah yang subur menyediakan banyak sumber makanan baginya. Tak kurang pula ikan dan udang tersedia di lebak dan sungai-sungai kecil di sekitarnya.
Meskipun segalanya tersedia, rasa bosan mulai menghinggapi diri Ingsal. Betapapun segalanya tersedia, dia merasa semua tak cukup untuk menenangkan hati. Siang malam, hanya dia sendiri di tempat itu. Dia memutuskan untuk pergi ke Negeri Palembang, yang sejak dahulu banyak dibicarakan orang.
Dia milir dengan lancang miliknya. Tak ada tempat yang lebih besar daripada Palembang –seperti selalu dikatakan orang selama ini—memang benar adanya. Rumah-rumah mengapung, berderet di sepanjang tepian sungainya. Lebih ke tepi, demikian banyak jeramba yang menjadi penghubung antar-rumah ber-cagak tinggi. Ingsal memilih menambatkan perahu di salah satu pangkalan yang ada di tempat itu. Selama perjalanannya, banyak di antara orang di tempat itu memandang heran. Ingsal maklum akan hal itu. Tubuhnya yang kecil, ditambah bubul di kakinya sehingga dia berjalan kincat, telah membuat dia menjadi seseorang yang menarik perhatian.
Tak terasa, malam menjelang. Ingsal merasa sangat tertarik pada keramaian yang berlangsung di tempat itu. Orang-orang menyanyi dan menari dengan iringan gamelan. Di bawah cahaya bulan dan kerlip obor, keriangan itu semakin bertambah oleh teriakan girang orang-orang saat ada di antara mereka dinilai bertingkah lucu. Ingsal mendekat dan bergabung dengan kelompok lelaki muda di tempat itu. Namun, saat dia memasuki kerumunan, orang-orang justru memencar. Bahkan kemudian, lagu, tari, dan gamelan terhenti.
Ingsal berdiri, memandang heran. Seorang lelaki muda, yang tampaknya menjadi pemimpin di kelompok itu, mendekatinya.
“Siapa kau?”
“Maaf, Tuan. Perkenalkan, sayo Ingsal Nyawo,” jawab Ingsal sambil membungkukkan tubuh.
Oh.”
Ingsal merasa terganggu dengan sikap lelaki di depannya. Namun, dia tetap menahan diri. Mungkin saja memang begitu cara orang di tempat ini bersikap, demikian pikirnya.
Beberapa lelaki lain mendekat, mengelilingi Ingsal dan lelaki pertama. Garang luas itu menjadi lengang sebagian. Apalagi, para perempuan muda yang tadi berdiri berkelompok, telah pula menghilang. Namun, Ingsal tahu bahwa para perempuan itu mengintip dari balik pintu dan jendela beberapa rumah di sekitar tempat itu/
“Nah, Ingsal Nyawo. Tampaknya, kau berbeda dengan kami. Kau tidak tinggal di dekat sini kan?”
“Benar, Tuan. Apabila Tuan-tuan tidak berkeberatan, izinkan sayo mengikuti pesta Tuan-tuan,” jawab Ingsal, dengan nada suara yang sangat rendah.
“Ikut pesta? Ini bukan sekadar pesta. Ini pesta pernikahan. Teman-teman, tamu kita ini hendak ikut pesta kita. Bagaimana?” kata lelaki itu kepada teman-temannya.
Tak ada jawaban. Hanya bisik-bisik, yang terdengar ramai karena dilakukan oleh banyak orang. Ingsal semakin tak enak hati. Namun, dia tetap menahan diri.
“Kau dengar jawaban kami?” kata lelaki itu. Senyum aneh tersungging di bibirnya. “Kami sama sekali tak keberatan... untuk mengusirmu dari tempat ini.”
Perkataan itu diiringi gerakan dua tangan terentang, lalu diayun ke depan secara serentak. Gerakan ini diikuti oleh orang-orang lain. Ingsal maklum, kehadirannya tak dikehendaki. Dia pun bergerak menjauh. Terdengar tawa terbahak-bahak di belakangnya, disusul gamelan yang kembali mengalun.
Lewat beberapa rumah, Ingsal menghentikan langkahnya, lalu duduk mencangkung di tepi jeramba. Tampak biasa saja. Namun, ekor matanya mencari-cari rumah calon pengantin. Ini pesta pernikahan, demikian yang didengarnya tadi. Dia pun mendapatkan jeramba yang sangat mungkin dijadikan sebagai jalan memutar dari keramaian. Dari rumah itu, juga ada jalan yang lebih singkat menuju pangkalan, tempat perahunya tertambat.
Malam semakin larut. Orang-orang di keramaian telah dirasuki oleh keletihan. Namun, keriangan terus berlangsung. Perlahan, Ingsal berjalan menuju rumah sasarannya. Diambilnya jalan lewat jeramba di samping rumah. Mengira-ngira di mana pangkeng berada. Saat melihat jendela kecil yang berada lebih tinggi daripada jendela lain di rumah itu, Ingsal memastikan, itulah pangkeng, tempat calon pengantin perempuan berada.
Ringan saja tubuhnya memanjat dari sekur ke dinding yang lebih tinggi, lalu membuka jendela. Kayu-kayu bulat menjadi pengalang di jendela itu. Dari tempat itu, dia melihat dua perempuan, seorang berusia tua dan seorang lagi muda belia, tidur pulas. Hati-hati, hampir tanpa suara, Ingsal membuka kayu-kayu di jendela. Semua terbuka. Dia masuk, mengangkat perempuan muda itu dan meletakkannya di pundak. Perempuan itu berteriak tertahan. Secepat masuknya, Ingsal keluar lewat jendela dan menjejakkan kaki ke jeramba.
Perempuan tua di kamar itu terlonjak dan berlari ke arah jendela. Namun, gerakannya kalah cepat. Satu kesalahan telah dibuatnya. Sebagai tunggu jeru, seharusnya dia tidak tertidur menjelang pesta pernikahan ini. Perempuan itu melongokkan kepala lewat jendela.
Semawo-semawo! Tolong! Semawo!”
Dia berteriak-teriak, hingga sugi-nya terlepas.
Para lelaki muda yang tadi berasyik-masyuk dengan pestanya berhamburan ke arah rumah calon pengantin. Namun, Ingsal bersama “curian”-nya telah jauh karena dia memilih jalan berbeda dari jalur menuju rumah itu.
“Di mana, di mana?” teriak mereka.
“Hilang... lari... hilang... penganten... dibawa, cepat kejar!” perempuan itu seolah kehilangan kata-kata.
 “Lari ke mana dia Mak Rajo?”
Kali ini, pemimpin para pemuda itu yang bertanya.
“Sana, sana!”
Semua melihat ke mana ibu jari itu mengarah, lalu berlari secepat mereka mampu.
Ingsal terus berlari. Dia berlompatan dari satu jeramba ke jeramba lain. Dihindarinya jeramba yang mengarah lurus dan terbuka. Perempuan di pundaknya seperti tak mampu lagi berteriak.
Di belakang, teriakan orang semakin ramai. Penduduk di tempat itu, yang mendengar teriakan, turut pula mengejar meskipun mereka tak tahu ke arah mana harus berlari. Begitu suara ramai semakin mendekat, Ingsal menarik getuk dari pinggangnya, meletakkan ke tangan kiri yang memeluk perempuan “hasil curian”, dan memukulkan tongkat kecil dengan tangan kanannya. Terdengarlah suara getuk bertalu-talu di kejauhan sana. Suara ramai itu pun menjauh. Ingsal selamat tiba di pangkalan, membaringkan sang calon pengantin ke lancang, melepas tali pengikat, lalu menolakkan satang. Lancang pun meluncur kencang.

*          *          *

“DIK, mana tepak dan lumpang?”
Ingsal Nyawo tergesa menemui istrinya yang sedang berada di dapur. Sang istri kaget, melihat suaminya bertingkah serupa itu. Sejak kepulangan dari perjalanan kelananya beberapa waktu lalu, Ingsal tampak gelisah. Kegundahan itu kini tampaknya telah memuncak.
“Kenapa, Kak?” tanyanya, setelah sebelumnya memberikan secangkir air.
Ingsal tak menjawab. Dia mengambil lumpang dan batu penumbuknya. Sang istri, yang sudah sangat mengenal tabiat suaminya, segera mengambil tepak berisi sirih, pinang, dan gambir. Ingsal memasukkan semua bahan itu ke dalam lumpang dan menumbuknya.
“Dik, buatkan buaian yang besar!”
“Untuk siapa, Kak?”
Ingsal hanya memandang dengan matanya yang tajam.
“Baik, Kak,” kata si istri, yang tergopoh-gopoh membuatkan buaian. Diikatkannya tali di kasau, lalu memasangkan kain sarung di kedua ujung tali. Sepotong kayu dengan panjang setengah depa dipasangkan di bagian atas kain.
Beberapa kali memasukkan bahan untuk nginang itu, Ingsal melangkah keluar dengan gegas. Dia membuat beberapa kepalan sirih tumbuk, lalu membuangnya ke dekat pangkal tangga. Kepalan itu juga ditempatkannya sedemikian rupa di garang dekat pintu masuk rumah.
“Bedong aku, cepat!” katanya kepada istrinya.
Tanpa banyak tanya, sang istri membedong Ingsal, lalu meletakkannya ke buaian.

*          *          *

TEMPAT berdiam Ingsal Nyawo tak lagi sepi. Baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, orang mulai datang dan bermukim. Bersama-sama, mereka mengolah lebak dan sungai untuk mendapatkan hasilnya. Pada waktu lain, mereka berburu untuk mendapatkan bulu dan daging hewan di hutan. Atau, menoreh getah damar dan menakik kemenyan. Karena semakin banyak pemukim, tempat itu pun menjadi dusun. Penduduk menamainya sebagai Dusun Sukaperna, yang berarti suka hal yang baik-baik.
Ingsal telah hidup berumah tangga dengan perempuan yang dilarikannya dari Negeri Palembang. Meskipun telah hidup menetap, Ingsal tetap saja senang berkelana. Terkadang, pengelanaannya memakan waktu hingga dua, tiga purnama. Kepulangannya yang tergesa kali ini tampaknya membawa masalah. Penduduk dari sebuah negeri yang disinggahinya, sekarang mengejar Ingsal. Mereka mengutus orang terkuat dan tersakti di antara mereka.

Pak epek kambing pak epek
minum pati di bawa(h) ruma(h)
anak siapo (h)idung cepek
anak depati di kampung tenga(h).

Istri Ingsal Nyawo nenggung sambil memainkan buaian, saat mendengar langkah kaki di anak tangga dan garang rumahnya. Dari derit papan yang terinjak, perempuan ini menduga, tentulah orang itu sangat besar. Setelah menyanyikan satu pantun, dia bersenandung dengan irama yang sama. Suaranya sengaja dikeraskan. Begitupun saat menyambung pantunnya.

Pak indil kambing pak indil
makan manggis di balik kuto
jangan takut di mulut bedil
mato keris maenan kito

Disambungnya lagi dengan senandung. Perempuan ini berpura-pura kaget saat seorang lelaki bertubuh tinggi besar telah berada di ambang pintu rumahnya. Karena tingginya, lelaki itu membungkuk dalam saat melewati pintu.
 “Ah, Tuan. Tekanjat sayo,” katanya.
“Aku datang dari jauh,” kata salah seorang dari lelaki itu, berusaha berbicara dengan irama lembut.
“Siapakah Tuan?”
“Orang-orang menyapaku Gombong.”
Oh. Keperluan Tuan?”
“Aku mencari Ingsal Nyawo. Mana dia?”
Kini, ada nada tak sabar dari suaranya.
“Kak Ingsal? Dia telah lama tak pulang. Ini, anaknya menangis terus,” kata si perempuan, sambil menepuk-nepuk lembut kaki Ingsal dalam bedongan.
Lelaki itu hanya mematung.
“Dia belum pulang?”
“Ya. Sekiranya Tuan kelak bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa istri dan anaknya menunggu.”
Wajah lelaki itu menyiratkan keheranan.
“Jadi?”
“Ya, kami telah lama menunggu kepulangannya.”
Kini, lelaki itu mendekat, dan berusaha melihat bayi di dalam buaian. Setelah matanya tertumbuk ke tubuh bayi bertubuh besar, berkumis pula, dia undur dua tindak.
“Ini... ini...,” telunjuknya mengacung ke dalam buaian, sementara matanya terbelalak.
“Ya, Tuan. Masih kupik, belum dapat berbuat apa-apa.”
Suara istri Ingsal Nyawo terdengar sangat tenang. Tangannya tak henti menepuk-nepuk lembut kaki suaminya, yang tampak tertidur pulas.
Lelaki itu melangkah perlahan ke salah satu sudut rumah.
Kupik-nya saja sebesar itu. Bagaimana bapaknya? Pantas saja. Tadi, di luar, suru-nya saja sekepalan tangan,” katanya perlahan, sementara jemarinya menggaruk kepala. “Ah, ini salahku. Aku tak pernah tahu bagaimana Ingsal Nyawo itu. Melihat anaknya saja, tubuhku terasa gering.”
Dia kembali mendekati istri Ingsal Nyawo.
“Maaf, sebaiknya aku pulang saja,” katanya.
“Tuan tak hendak menunggunya?”
“Tidak, terima kasih.”
Lelaki bertubuh tinggi besar itu berjalan perlahan, hampir-hampir berjingkat, menuju pintu. Tiba di pangkal tangga, dia melompat, kemudian berlari kencang.

*          *          *

KEPERKASAAN Ingsal Nyawo, baik selama pengelanaannya maupun kemampuannya mengalahkan Gombong, tersiar ke mana-mana. Hanya saja, tak semua kabar itu menyebutkan nama. Kabar yang tersiar, ada seorang sakti yang tak terkalahkan. Hal itu pun sampai ke telinga seorang sakti berjuluk Nyamak Raden Sianom. Lelaki yang berdiam di bagian hilir sungai tempat tinggal Ingsal Nyawo ini pun merasa harus menjajal si orang sakti dari Dusun Sukaperna itu.
Nyamak Raden Sianom segera menyiapkan lanting yang kukuh. Dia pun mudik dengan perahu rakitnya itu menuju Sukaperna. Sepanjang perjalanan, dia membayangkan bagaimana rupa lawannya itu. Kesaktian yang bagaimana bakal dijajalnya nanti. Namun, saat mereka-reka bagaimana rupa lawannya itu, lelaki ini seolah mengingat sesuatu.
Nyamak terus mendorong rakitnya. Matanya awas ke sepanjang tepian. Pandangannya semakin nyalang saat melihat ada kelompok rumah, dusun, sekelompok orang, ataupun ada orang per orang. Sejauh itu, tak seorang pun yang sesuai dengan ciri-ciri yang pernah didengarnya.
“Bertubuh kecil dan berjalan kincat. Ah...,” desisnya.
Lelaki ini tak peduli, dan meneruskan perjalanan mudiknya. Jiwa lelakinya bergolak, saat orang-orang di dusunnya bercerita dengan penuh kekaguman tentang orang sakti dari Sukaperna itu. Dia merasa tak tahan, saat anak-anak muda, dengan mata berbinar menggambarkan sosok sakti itu. Selama ini, tak ada orang lain selain dirinya yang mendapat puja dan puji. Kini?
“Orang Sukaperna, hari ini kita akan membuktikan, siapa yang terkuat di alir sungai ini,” katanya.
Usai perkataan itu, bagian satang yang berada di genggamannya berderak, lalu pecahannya menyebar ke ujung dan pangkal. Nyamak melemparkan satang-nya. Sekalipun tanpa satang sebagai penggerak, lanting itu terus melaju.
Tiba di suatu tempat, matanya menangkap sosok serupa dengan ciri yang digambarkan banyak orang. Hatinya pun merasa puas melihat orang yang bakal adu tanding dengannya itu meskipun dari kejauhan.
Jauh di seberang sungai, Ingsal Nyawo sedang berjalan menyusuri tepian sungai. Seperti biasa, jiwa kelananya telah menuntut kaki lelaki itu untuk menapaki tanah, menyusuri sungai, bahkan menyibak kelebatan hutan.
Hoi, orang yang di seberang! Sekiranya kau benar orang sakti, kemarilah! Mari kita mengukur nafsu!” teriak Nyamak.
Merasa seruan itu ditujukan kepadanya, Ingsal menghentikan langkah. Matanya menangkap sosok lelaki bertubuh tegap sedang berkacak pinggang di atas lanting. Alis Ingsal yang hampir menyatu di kedua pangkalnya pun seolah bertumpuk ketika dia mengernyitkan dahi.
“Wahai, orang di atas lanting! Sungai yang kau arungi dapatlah kau ukur dengan penggalah. Nafsu orang, tiada yang tahu!” balasnya.
“Hahahaha... pandai pula bersilat lidah. Bukan hanya pencak raga yang kau mampu. Mari, kita lihat, nafsu siapa yang lebih tinggi!”
“Wahai, sekiranya nafsumu tinggi, apakah setinggi itu pula napasmu?” jawab Ingsal.
            Hoi orang di seberang, kita sudahi dahulu bermain kata-kata. Mari bermain kaki dan tangan!”
            Ada nada ketidaksabaran dari suara Nyamak.
“Wahai orang di lanting, jika kau memang ingin menjual, mari kubeli!”
Jawaban serupa inilah yang dinantikan Nyamak. Bahunya memutar, sehingga lanting yang ditumpanginya berbelok ke tepi, lalu nyunggut di rerimbunan kumpe. Lantas, dengan sekali hentakan, tubuhnya terlontar dan mendarat ringan di depan Ingsal.
“Ini rupanya orang yang menjadi bunga bibir di....”
Kalimat Nyamak terhenti, tetapi mulutnya masih terbuka. Alisnya, yang tebal, saling bertaut di pangkalnya. Keterkejutan yang sama terjadi pada diri Ingsal, yang tadi telah siap memapak serangan lawannya. Dia tarik kaki kirinya, yang tadi maju setindak dan setengah ditekuk.
 “Dik?”
Ucapan pertama Nyamak, usai keheningan di antara keduanya.
“Kak?”
“Dik Ingsal?”
“Kak Terang?”
Tak ada lagi kata-kata, hanya pelukan yang sangat erat.

*          *          *

SELAMA beberapa hari, Nyamak Raden Sianom, yang sesungguhnya adalah Terang Nyawo, berdiam di rumah adiknya, Ingsal Nyawo. Kakak beradik, yang selama beberapa tahun tak berjumpa, itu melepaskan semua kerinduan mereka. Hingga akhirnya, Nyamak meninggalkan Sukaperna.
Kehidupan di dusun itu kembali berjalan seperti biasa. Penduduknya kembali berkebun, menangkap ikan, dan berburu. Suatu ketika, saat beberapa orang menangkap palau yang semakin ramai mudik bersamaan dengan mulai naiknya air setelah kemarau, mereka melihat asap di kejauhan, di seberang lebak yang luas itu.
“Tampaknya, ada juga orang yang berdiam di seberang sana,” kata salah seorang dari mereka.
“Jika begitu, ada baiknya kita kunjungi saja,” jawab yang lain.
“Benar. Apabila ada orang lain di sekitar sini, berarti dusun kita dapat menjadi ramai.”
“Sebaiknya, kita rundingkan dahulu dengan para tetua. Mari kita pulang dahulu,’ kata lelaki pertama, sambil menarik lancang-nya ke tepian.
Kata sepakat didapat. Beberapa orang diutus untuk menyeberang. Asal asap diikuti. Ternyata, asap itu berasal dari samping sebuah rumah yang dihuni sepasang suami istri. Orang-orang dari Sukaperna merasa takjub saat melihat tanaman di tempat itu tumbuh dengan suburnya.
Kesuburan tanah, yang menjadi kekayaan sangat besar, itu tampaknya tak sebanding dengan keadaan suami istri yang berdiam di tempat itu. Wajah lelaki dan perempuan itu selalu menampakkan mendung. Tak ada cahaya kegembiraan.
Seetelah beberapa kali berkunjung dan saling bertukar bahan makanan, sebagian orang di Sukaperna berniat pindah ke tempat yang lebih menjanjikan bagi kehidupan itu. Niat ini pun disambut baik pasangan berwajah mendung itu. Akhirnya, sebagian besar orang Sukaperna pindah ke tempat ini. Untuk mengingat kehidupan yang makmur dan jaya, tetapi penghuninya berwajah muram, semua orang bersepakat menamakan tempat itu sebagai Dusun Merana Jaya. Semakin lama, penyebutan nama dusun berubah. Dari Merana Jaya menjadi Meranjat. Sementara Dusun Sukaperna, berubah nama menjadi Dusun Lintang. Ini mengingat kepingan jalur yang jatuh melintang di tempat itu.

*          *          *

KEHIDUPAN semakin berkembang. Desa Meranjat yang mulai tertata kehidupannya, mulai membentuk tatanan kehidupan yang teratur. Sebagai pemimpin, ditunjuklah seorang rio, yaitu Siropati. Lelaki ini merupakan putra Paku Mangku Gardin yang berasal dari Mataram dan menetap di Dusun Kabung. Siropati menikah dengan Putri Kembang Pundak, putri seorang tetua dari Tanjung Temiang.
Lebak yang subur, ketersediaan tanaman untuk makanan hewan yang mencukupi adalah alasan bagi penduduk Dusun Meranjat untuk memelihara kerbau lebak. Hewan yang suka mencari makan di daerah lebak ini berkembang biak dengan baik dan bertubuh besar. Pemeliharaan hewan, yang semula liar, dan menjadi binatang buruan, ini juga dilakukan Rio Siropati.
Waktu senggang, penduduk menghibur diri dengan mengadu kerbau milik mereka. Kerbau milik Siropati selalu keluar sebagai pemenang. Ketangkasan sang kerbau dalam berlaga terkenal hingga ke mana-mana. Hingga suatu ketika, kehebatan sang kerbau sampai di telinga Sunan Palembang.
“Kami utusan Sunan Palembang, datang untuk mengundang Rio Siropati ke negeri kami,” kata seorang lelaki, mewakili dua lelaki lainnya, sesaat setelah pencalang mereka merapat.
“Baiklah, Tuan. Kami aturi Tuan-tuan untuk naik ke rumah Rio,” kata Merebot, seorang lelaki yang menjadi penasihat Rio Siropati.
Setelah utusan Sunan Palembang kembali ke negerinya. Rio Siropati merundingkan undangan itu dengan Merebot.
“Bagaimana menurut Paman?”
“Ananda, menurut hemat sayo, undangan ini sebuah kehormatan. Namun, apabila ananda diundang ke Palembang hanya untuk mengadu kerbau, sayo rasa itu tidak pula baik,” jawab Merebot dengan takzim.
“Jadi, bagaimana baiknya menurut Paman?”
“Izinkan sayo yang mewakili ananada.”
Rio Siropati merenung sejenak.
“Paman, tolong utus orang ke Lintang untuk mengundang Ingsal Nyawo. Kurasa, dialah orang yang paling tepat karena dia sudah berpengalaman berkelana ke banyak negeri. Termasuk, Negeri Palembang,” kata Siropati.

*          *          *

BERBEDA dengan tempat tinggal penduduknya, berupa rumah panggung dengan penghubung berupa jeramba, gelanggang aduan milik Sunan Palembang berada di tanah kering. Tempat ini letaknya lebih tinggi daripada tempat lain. Untuk sampai ke gelanggang itu, Ingsal Nyawo dan rombongannya dipandu pencalang Palembang melalui sungai kecil.
Tak berapa lama setelah Ingsal Nyawo dan rombongannya duduk di tempat yang disediakan untuk mereka, Sunan Palembang tiba. Tanpa sadar, lidah Ingsal berdecak. Orang yang disebut sebagai sunan itu terlihat sangat gagah, tetapi bermata teduh. Langkah kakinya yang sangat halus pun seolah terdengar, karena semua orang di tempat itu tak ada yang bersuara. Payung berwarna keemasan mengiringi langkah sang sunan.
Setelah duduk bersila di sebuah garang yang letaknya bersebelahan dengan garang yang disediakan bagi Ingsal, Sunan Palembang berbisik kepada lelaki di sebelahnya. Si lelaki, yang terlihat lebih tua usianya daripada sunan, menemui Ingsal.
“Sunan sudah berkenan untuk menyaksikan laga kerbau,” katanya kepada Ingsal.
Beberapa lelaki yang mendampingi Ingsal segera menuntun kerbau yang mereka bawa, dan melepasnya lewat pintu sebuah kandang besar yang berada di hadapan mereka. Kandang itu terbuat dari batangan-batangan unglen yang ditancapkan ke tanah dan dirangkai dengan batangan dari kayu yang sama. Dengan rotan sebagai pengikat, kandang itu tampak sangat kukuh.
 Kerbau yang dilepas, berjalan perlahan di arena. Tubuh yang besar dan kekar, dengan tanduk lurus mendatar serta meruncing ke belakang, menampakkan kegagahan sejati hewan aduan. Sesekali mengaiskan kaki depannya, sang kerbau mendengus.
Ingsal melirik Sunan Palembang. Dilihatnya, lelaki itu menatap lekat sang kerbau sambil mengelus janggutnya. Ingsal merasa aneh, ketika melihat senyum tipis menghias wajah sunan. Dia merasa, ada sesuatu yang tidak beres. Matanya diarahkan ke kandang di depannya. Lalu, ke bagian atas kandang.
“Mengapa pula bagian atasnya diberi pengalang?”
Ingsal bertanya dalam hati. Sebelum sempat mendapat jawaban, ekor matanya menangkap sunan bertepuk dua kali. Di dekat arena, beberapa orang telihat menandu sebuah sesuatu, dan mendekatkannya ke pintu masuk kandang di arena.
“Makan rimau!”
Ingsal hampir saja berteriak jika saja dia tak ingat di mana kini berada. Tangannya mengepal, tetapi amarah ditahannya. Hanya senyuman yang diberikannya, saat sunan mengarahkan senyum kepadanya, sembari mengembangkan kedua belah tangannya ke arah gelanggang.
Naluri hewani sang kerbau terpicu. Kepalanya menunduk, dengus napasnya makin kuat. Tanduknya yang runcing mengarah ke lawannya, yang menggeram dengan sikap mengancam. Dua makhluk itu saling berhadapan. Satu berusaha menerkam mangsa, yang lain berusaha melindungi diri.
Ingsal kembali melirik sunan. Meskipun pertarungan belum lagi dimulai, senyum kemenangan telah mengembang di wajah sunan. Ingsal merasa geram. Utusan yang datang ke Meranjat hanya mengatakan bahwa sunan meminta Siropati membawa kerbaunya ke Palembang untuk diadu. Sama sekali tidak ada perkataan yang menyatakan bahwa kerbau itu akan diadu dengan harimau.
Sorak-sorai mulai terdengar, saat harimau dengan punggung merendah, mulai berjalan mengelilingi kerbau. Taringnya tampak berkilat ditimpa cahaya matahari lewat kisi-kisi kandang. Sang kerbau semakin merunduk, seolah memberikan ancaman lewat tanduknya. Dia pun berputar di tempat, mengikuti langkah kaki harimau.
Sorak pun meledak, ketika harimau melompat diiringi aumannya. Sasarannya, tengkuk kerbau. Namun, sebuah tandukan membuat tubuh si raja rimba itu terpelanting ke salah satu sisi kandang. Tampak meradang, hewan itu kembali berdiri. Kali ini, dia tidak langsung melompat. Beberapa kali, dia membuat gerakan maju, lalu undur kembali. Melihat lawannya bersikap serupa itu, sang kerbau menjadi garang. Kali ini, dengan kakinya yang kukuh, kerbau menerjang. Sorak-sorai makin membahana.
Beberapa kali, serudukan kerbau mengenai kandang. Setiap kali dia menyeruduk, orang-orang pun berteriak, seolah menyemangati. Puluhan, entah belasan kali, gerakan itu dilakukan hingga akhirnya gerak kerbau menjadi semakin lamban. Satu kesempatan, harimau menerkam dan empat taringnya yang runcing menghujam ke tengkuk kerbau. Hewan yang diserang berusaha melepaskan diri. Tanduknya diangkat, tetapi tak cukup kuat untuk menjatuhkan lawannya. Perjuangan untuk bertahan hidup yang sia-sia terus dilakukannya; menanduk, melompat-lompat dengan kaki belakangnya. Usaha itu berakhir dengan lenguh yang panjang. Suasana mendadak hening.
Melihat kerbaunya terjatuh, Ingsal Nyawo berdiri, dan membungkukkan tubuh ke arah sunan. “Baginda, hamba Ingsal Nyawo. Izinkan hamba bertarung,” katanya.
Sunan Palembang terhenyak di tempat duduknya.
“Maksudmu?”
“Hamba akan bertarung melawan harimau itu.”
Sunan diam sejenak. Dipandangnya lelaki di depannya itu. Matanya menyusuri tubuh Ingsal, dari kepala hingga ke kaki.
“Tak mungkin kuizinkan,” katanya, setelah menimbang-nimbang dengan memerhatikan tubuh Ingsal. “Aku memang menyukai pertarungan tadi. Namun, aku bukanlah raja lalim yang senang mengadu harimau dengan manusia. Tidak.”
“Baginda, keraguan Tuan mungkin timbul karena melihat tubuh hamba. Bagi hamba, lebih baik mati tercabik harimau daripada pulang menanggung malu. Kerbau kami telah dikalahkan, sehingga hamba pulang tanpa membawa kemenangan. Izinkanlah, Tuanku,” kata Ingsal.
Sikap dan cara bicara Ingsal membuat sunan merasa tak enak hati. Setelah sempat berbisik dengan penasihatnya, sunan pun menjawab, “Baiklah. Apabila itu kehendakmu, kuizinkan.”
Sunan kemudian berdiri, melanjutkan bicaranya dengan suara lantang.
“Rakyatku, dan semua yang hadir di sini, kalian akan menyaksikan pertarungan antara Ingsal Nyawo dan harimau. Namun, kalianlah saksinya, bahwa pertarungan itu bukan atas kehendakku,” katanya, lantas bertepuk dua kali ke arah seseorang yang berdiri di dekat pintu kandang.
Sebelum melangkah, Ingsal kembali membungkukkan tubuh.
“Maaf, Baginda. Izinkan hamba....”
Belum tuntas kalimat Ingsal, sunan kembali menepukkan tangan. Seorang lelaki Palembang, menyerahkan keris kepada Ingsal, sebelum mengiringinya menuju kandang. Tadi, sebelum menuju gelanggang, Ingsal dan pengiringnya memang menitipkan keris dan senjata lainnya. Hal ini merupakan prasyarat setiap ada rakyat atau tamu yang akan bertemu dengan sunan.
Suasana hening. Terdengar desah napas tertahan dari kumpulan orang-orang, saat Ingsal Nyawo memasuki kandang. Si raja rimba, yang sedang menikmati santapannya, tampak terganggu oleh kehadiran makhluk lain di tempat itu.. Dengan geraman marah, dia melepaskan cengkeraman kukunya dari bangkai kerbau. Sedikit enggan, dia melepaskan mulutnya dari daging yang tercabik-cabik itu.
Di luar kandang, orang-orang merasa ngeri melihat keadaan itu dan mereka bertambah ngeri saat membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Di dalam kandang, Ingsal berjalan  perlahan memutari lawannya. Lelaki bertubuh kecil itu sedang menaksir kekuatan lawannya.
Napas semua orang semakin tertahan, ketika harimau mulai menurunkan bagian depan tubuhnya, dengan dua cakar menapak tanah. Naluri untuk bertahan karena merasa terancam dan naluri untuk membunuh terlihat melingkupi hewan berbelang itu. Seiring Ingsal menghentikan langkahnya, harimau menerjang ke depan dengan auman yang keras. Orang-orang setengah berteriak ketika menyaksikan adegan itu.
Ingsal, dengan tubuhnya yang kecil dan langkah pincang, tampaknya bakal menjadi mangsa yang empuk. Apalagi, dia tak membuat gerakan sama sekali, seolah pasrah menerima serangan itu. Sebagian orang menutup muka. Sebagian dari mereka merasa, lelaki asal Meranjat itu sengaja hendak bunuh diri. Soalnya, dia ama sekali tidak mengeluarkan kerisnya. Beberapa jengkal sebelum cakar-cakar tajam itu terhujam ke tubuhnya, Ingsal menjatuhkan diri. Dalam pandangan orang-orang, gerakan itu tak berarti apa-apa. Jatuh begitu saja. Hanya wajah sunan yang menyiratkan rasa kagum. Sunan dan para pembantu dekatnya, telah membaca apa yang berlangsung di depan mereka.
Saat Ingsal berdiri kembali, hening pun pecah. Tepuk tangan dan teriakan memenuhi tempat itu. Di dekat sisi kandang, harimau memalingkan kepalanya ke belakang, lalu memutar tubuhnya. Kembali, sikap mengancam ditunjukkannya. Binatang besar itu, sama dengan gerakan sebelumnya, kembali melompat garang. Lagi-lagi, Ingsal menjatuhkan diri. Harimau menyerang, Ingsal menjatuhkan diri. Begitu berulang, hingga tampaklah si raja rimba mulai tersengal napasnya. Kini, semua orang di tempat itu mulai paham apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Lelaki bertubuh kecil yang mereka anggap lemah dan tak berdaya itu sesungguhnya sedang memermainkan lawannya.
“Bunuh! Bunuh saja harimau itu!” teriak seseorang.
“Cabut kerismu!”
Orang-orang lain pun menyambut, “Bunuh! Bunuh! Bunuh!”
Masih dengan gerakan “tidak ada apa-apa”, Ingsal menghadapkan tubuhnya ke arah sunan dan membungkuk. Sunan membalas dengan anggukan. Setelah itu, dia mengembangkan kedua belah tangannya dan berputar perlahan, sehingga semua orang dapat melihatnya. Setelah itu, dilepasnya keris dari sarung dan mengarahkan pandangan ke harimau yang berada di sudut kandang. Tampaknya, naluri membunuh hewan itu telah berganti. Tersengal, dengan auman terakhir, harimau melompat menuju kesia-siaan.

*          *          *

KEMENANGAN Ingsal Nyawo dalam pertarungannya melawan harimau terus menjadi buah bibir. Lelaki ini kembali ke dusunnya, Lintang, yang dahulu dikenal sebagai Sukaperna. Baik Lintang maupun Meranjat terus berkembang. Penduduknya bertambah, karena kedatangan orang-orang dari tempat lain.
Siropati dan Merebot memberikan izin tinggal bagi pasangan suami istri, Sukma Nyawa-Putri Mata Ramah. Sukma Nyawa memiliki seorang saudara perempuan bernama Betino. Dari sebuah pondok, tempat itu kemudian menjadi sebuah dusun yang ramai. Dusun pun diberi nama Beti, yang diambil dari nama saudara perempuan Sukma Nyawa. Lelaki ini, yang setelah wafatnya lebih dikenal sebagai Sang Yang Sukma Nyawa, memiliki dua anak, lelaki serta perempuan yang bernama Danau dan Putri Kembang Mengurai.
Pasangan Siropati dan Kembang Pundak memiliki putra, yang mereka beri nama Megatsari. Merebot memiliki putri bernama Kedap Melur. Karena kedekatan orangtua mereka, putra dan putri ini dijodohkan saat dewasa.
Masa perkembangan dusun ini, datang dua lelaki dari Banten, Maulana Ibrahim dan Maulana Makdum. Keduanya mengajarkan agama Islam, dimulai dari Siropati dan keluarganya. Penduduk Meranjat dan sekitarnya pun menjadi pemeluk Islam.
Setelah wafat, Siropati mendapat julukan Sang Yang Siropati. Julukan Sang Yang juga dialamatkan penduduk kepada Merebot. Hal yang sama, berlaku terhadap Megatsari. Ayahanda Siropati, mendapat julukan Puyang Paku Mangku Gardin. Sedangkan mertua Siropati, dijuluki Puyang Tanjung Temiang, yang kini berada di wilayah administratif Tanjungraja, Kabupaten Ogan Ilir.
Sungai besar yang mengaliri Negeri Palembang hingga saat ini dikenal sebagai Sungai Musi. Sementara sungai yang menghubungkan sungai itu dengan Dusun Meranjat adalah Sungai Ogan. Lebak luas yang berada di antara Dusun Lintang dan Dusun Meranjat, saat ini dikenal sebagai Lebak Meranjat, sesuai dengan nama suku yang mendiami kawasan itu.
Kisah kemenangan Ingsal Nyawo dalam pertarungan melawan harimau, membuat lelaki ini mendapat julukan Usang Rimau setelah wafat. Dia dimakamkan di Lintang. Getuk miliknya kemudian menjadi pusaka Dusun Meranjat. Terang Nyawo, yang bermukim dan wafat di Rambang, dimakamkan di tepi muara sungai itu dan mendapat julukan Usang Nyamak Raden Sianom.
*          *          *
Sumber:  Yudhy Syarofie. 2009. Legenda Tepian Musi; Buku II. Palembang: Dinas Pendidikan ;Provinsi Sumatera Selatan.

Resep Srikaya


SRIKAYA, dapat dikatakan sebagai makanan yang sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Palembang. Penganan yang sama sekali tidak mengandung tepung –hanya terdiri atas gula, santan, dan telur—ini selalu menjadi pelengkap dalam tiap prosesi adat. Hubungannya sangat erat dengan kebiasaan masyarakat Palembang menanam buah srikaya (Annona squamosa) di muka rumah pada masa lalu. Coba saja perhatikan permukaan kulit buah srikaya. Lalu, bandingkan dengan tekstur permukaan srikaya. Ada kemiripan, kan?
Sekayo, demikian wong Plembang menyebutnya, selalu hadir di idangan sebagai pelengkap botekan. Keberadaan srikaya di “kambang”—sebutan untuk rangkaian hidangan yang disusun sedemikian rupa—pada prosesi adat Palembang, sama pentingnya dengan keberadaan tunjung (makanan atau buah penghias bagian tengah hidangan) dan tapak (sebutan untuk juadah atau penganan yang ditempatkan di hidangan dalam posisi utuh). Kelezatan srikaya juga dapat menjadi semacam prestise bagi ahli hajat. Soalnya, kelezatannya tergantung pada komposisi telur, gula, dan santan. Apabila tuan rumah maunya serba-irit, takkan didapat srikaya yang legit dan lezat itu. Terkait hal ini, bagi pengidap diabetes dan kolesterol tinggi, disarankan untuk tidak mengonsumsinya.
Sebagai teman makannya, wong Plembang biasa memakai ketan. Walau kemudian, seiring perjalanan waktu, roti tawar dapat menjadi pengganti ketan. Cara menempatkan ketan sebagai teman srikaya juga dapat bervariasi. Pada masa lalu, srikaya ditempatkan di semacam mangkuk kecil. Sementara ketan, dibentuk menyerupai wajik. Kini, seiring dengan pola keseharian masyarakat yang menuntut kepraktisan, srikaya dan ketan “dicetak” bersama, sehingga jadilah srikaya lapis ketan atau ketan lapis srikaya.
Berikut, resep srikaya. Takaran bahan telah disesuaikan dengan kondisi masa kini. Antara lain, satuan cc dipakai sebagai takaran. Sebelumnya, takaran yang digunakan adalah ukuran gelas. Misalnya, satu gelas telur, satu gelas gula, dan satu gelas santan.

Bahan:
  • 3 butir telur ayam
  • 3 butir telur bebek
  • 500 cc santan dari 1 butir kelapa
  • 500 cc gula pasir
  • 20 helai daun pandan
  • 10 helai daun suji
  • air secukupnya.

Cara Membuat:
  1. Larutkan gula di dalam santan, yang telah diberi perasan air pandan dan suji.
  2. Kocok telur hingga bagian putih dan kuningnya menyatu.
  3. Satukan adonan 1 dan 2.
  4. Tempatkan di dalam wadah, baik cetakan khusus maupun mangkuk kecil.
  5. Kukus hingga matang.

Ketan
Bahan:
  • 0,5 kg beras ketan
  • santan dari 0,5 butir kelapa

Cara Membuat:
  1. Masak ketan dengan santan hingga setengah matang (Palembang: diaroni).
  2. Kukus hingga matang.

Apabila ketan akan dilapis dengan srikaya;
  1. Masukkan ketan ke dalam cetakan, lalu tekan-tekan hingga padat.
  2. Tuangkan adonan srikaya ke dalam wadah yang sama.
  3. Kukus hingga matang.


Catatan: Semua resep tidak menggunakan penyedap rasa. Mulailah menjauhkan MSG, bahan pengawet, pewarna kimia, dan pemanis buatan dari kehidupan keluarga kita.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Bulan di Pangkuan Nyimas Naimah

BULAN bulat di langit tampak begitu benderang. Mata Nyimas Naimah menatap lurus ke atas dalam baringnya. Kekagumannya pada benderang bulan itu sedemikian besar. Lewat lubang di kajang angkap, sepotong kaca yang dipasang di antara susunan genting memberikan keleluasaan baginya untuk memandang sang bulan.
Sejak tadi, dia tak mampu melepas pandang. Beberapa kali dia berbalik. Berbaring miring, setengah tengkurap, lalu telentang. Rasanya, tak ada yang lebih nyaman dibanding posisinya saat ini. Sejak masuk peraduan, dia sulit memejamkan mata. Sementara adiknya, Nyimas Perak, telah lama lelap di sampingnya.
Usai salat Isya, Naimah dan Perak menidurkan adik mereka, Kemas Zaudin, dengan buaian. Setelah si adik tidur, mereka pun memilih memasuki keputren untuk tidur. Berbeda dengan Perak yang tak sulit memejamkan mata, Naimah merasakan pekerjaan yang sangat mudah itu sedemikian sulitnya.
Diangkatnya bantal guling dari pelukan, mengangkatnya, lalu menutupkan ke kepala. Dia berharap, dengan demikian, dia dapat tidur. Nyatanya, masih tak mampu juga. Dilepasnya bantal guling, lalu kembali dalam keadaan semula, menatap lubang pada kajang angkap.
Dalam pandangannya, bulan di atas sana semakin membesar saja. Semakin lama, semakin bulat dan besar. Ah, tidak, bisik hatinya. Bukan semakin besar, melainkan semakin rendah. Naimah mengucek-ngucek matanya. Tetap saja bulan itu merendah, hingga ke atas genting rumah. Gelisah, Naimah beranjak duduk, tetapi pandangannya tetap tertuju kepada sang bulan.
Kini, bulan itu tidak menerobos masuk lewat kaca yang tersisip di genting, menurun lagi masuk ke keputren lewat lubang di kajang angkap. Warna emas menghias keputren. Bulir keringat, yang tadi baru menembus pori-pori Naimah, kini semakin menderas. Bulan itu terus turun, dan Naimah tengadah. Perlahan, sang bulan mendarat di pangkuannya.
“Amboi, betapa terangnya!” kalimat itu meloncat begitu saja dari mulut Naimah.
Rasa cemas kini berganti menjadi kagum. Didekapnya erat sang bula. Kini, tubuh Naimah pun berubah menjadi keemasan. Matanya berbinar terang, seterang cahaya bulan dalam dekapannya.

*          *          *

CEK, bangun. Istighfar.”
Perak mengguncang-guncang tubuh kakaknya. Naimah masih tersenyum dalam tidurnya. Tangannya erat memeluk guling. Sementara bantalnya basah kuyup oleh keringat.
Cek!”
Kali ini, dengan teriakan yang cukup keras. Naimah terbangun, tersentak duduk.
Perak?”
Istighfar, Cek.”
Setelah mengucek-ngucek matanya, Naimah sejenak memandang adiknya.
Istighfar.”
Astaghfirullah al adziem.”
Perak beranjak dari tempat tidur. Menuangkan air ke cangkir yang terletak di atas meja kecil di kamar itu. Lalu, menyodorkannya kepada sang kakak.
Naimah menyambutnya, lalu meneguk air itu. Seolah masih tak sadar, dia mengembalikan cangkir.
Perak kini duduk di bibir tempat tidur. Diusap-usapnya kening Naimah yang basah oleh keringat. Sang kakak masih diam. Pandangan matanya seolah mencari-cari sesuatu. Namun kemudian, dia menarik napas panjang, lalu mengusapkan kedua belah telapak tangannya ke wajah.
 “Hanya mimpi.”
Kata-kata itu keluar dari mulut Naimah serupa desahan. Perak merasa tak cukup mendengarnya.
“Apa?”
“Hanya mimpi.”
Jawaban itu nyaris tak berirama. Meluncur begitu saja. Perak pun tak ingin mendesak.
“Sudahlah. Kata orang bijak, mimpi itu bunga tidur. Sekarang. Tidurlah kembali,” kata Perak dengan lembut.
Penuh kasih, dirapikannya kembali bantal yang menjadi alas kepala kakaknya, lalu dengan perlahan membaringkan tubuh Naimah. Selanjutnya, dia menyusul tidur di samping Naimah, dengan berjuta tanya di hati.
Naimah berbaring. Namun, matanya tak mampu terpejam hingga kokok ayam terdengar.

*          *          *

SEGENAP anggota keluarga itu duduk khidmat di ruang gegajah rumah mereka. Kemas Jompong duduk di atas amben. Di sisi kanannya, Nyayu Badariah duduk diam. Di samping kiri, istri keduanya, Siti Zahara binti Datuk Nakhoda duduk sambil memangku Zauddin. Di depan mereka, Naimah dan Perak duduk menekuri alas amben.
“Istri-istriku dan anak-anakku,” suara berat Jompong memecah keheningan. “Kuharap, cerita mimpi ini kita cukupkan sampai di dalam ruangan ini saja. Kuminta, kalian tidak lagi membicarakan apa pun. Tak perlu mengulang kisah mimpi Naimah, apalagi kata-kata jurufalak tadi.”
Engge,” serentak jawaban itu keluar dari mulut para istri dan anaknya.
Mimpi Naimah memang ditutup rapat di rumah itu. Tidak pula dapat keluar dari sekerem yang tertutup di pintu menuju ruang jogan, apalagi sampai menelisik ke bide yang menghadap Sungai Musi. Semua mematuhinya.
Perak pun tak ingin lagi membahas masalah mimpi kakaknya. Apalagi, perkataan jurufalak, mengenai makna mimpi itu.
Entah ada orang yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan keluarga ini, ataukah jurufalak telanjur bicara di luar, nyatanya, bisik-bisik mulai terdengar. Apabila Naimah atau Perak terlihat keluar rumah, para perempuan pun sak-sik dengan sesamanya.
“Lihat, calon istri sultan lewat.”
Sst... itu kakak ipar sultan hendak ke mana?”
Lalu, terdengar tawa yang seolah ingin disembunyikan. Mak Rajo, yang selalu mendampingi Perak dan Naimah apabila keluar rumah, mendelikkan mata. Para perempuan itu pun tersipu, lalu pergi dengan gegas.
Pada kesempatan lain, mereka pun dengan terang-terangan melontarkan kata-kata sindiran. “Aduhai, pungguk yang malang. Tak ada pula batang besar yang dipanjat ‘tuk meraih sang rembulan.”
Cemooh demi cemooh mengalir ibarat arus Sungai Musi yang tenang tetapi berarus dalam. Menghadapi itu, Naimah berusaha menyabarkan hatinya. Demikian pula dengan Perak. Mereka tetap pada kegiatannya. Namun kini, keduanya semakin jarang saja terlihat berjalan lebih jauh dari ujung tangga rumah mereka.

*          *          *

LA ilaha illallah kul mulikul hakkul mubin
muhammad rasulullah halikul ba’dul amin
perahu kajangnyo solat, kemudinya yo iman tauhid
tiangnyo cagak shalawat, muatannyo yo zikirullah

Laila si kuning jiwo
bilik kecik muat beduo
biar ancur biar binaso
samo kasur samo kelaso

La ilaha illallah kul mulikul hakkul mubin
muhammad rasulullah halikul ba’dul amin
perahu kajangnyo solat, kemudinya yo iman tohir
tiangnyo cagak shalawat, muatannyo yo zikirullah

Bobok bobok kau si nangko
jangan timpo si batang padi
nak tiduk kau la mato
jangan cinto si uwong tadi

Berganti-ganti Perak dan Naimah nenggung untuk adik mereka. Di buaian, Zauddin telah pulas. Lagu-lagu yang dinyanyikan Perak dan Naimah pun semakin perlahan. Sementara denging suara serangga malam yang berada di pepohonan sekitar rumah mereka seolah menjadi musik pengiring. Suara-suara itu ditingkahi gesekan batang dan daun bemban yang bergoyang diombang gelombang sungai. Riak air membentur-bentur cagak rumah menambah harmoni musik alam itu.
Perak memandang Naimah. Sorot matanya tertuju sesaat ke dalam buaian. Naimah menempelkan telunjuknya di bibir, lalu memiringkan kepala sambil menjadikan telapak tangannya sebagai penopang. Itu pertanda, dia meminta agar mereka menunggu beberapa saat lagi, sebelum Zauddin benar-benar lelap.

*          *          *

PENCALANG meluncur perlahan. Riak air yang dipecah lunas berlari ke tepi. Garis-garisnya yang bergelombang menimbulkan kilatan saat ditimpa cahaya dari obor yang terpasang rapi di tubuh perahu itu.
Di bawah kajang yang menutupi bagian belakang pencalang, seorang lelaki paruh baya duduk bersila. Dari balik sorban yang menutupi kepalanya, menjuntai rambut ikal yang sebagian telah memutih. Sorban itu melengkapi penampilan sebuah wajah berbentuk oval, dengan alis tebal dan lengkungan mata yang dalam. Di antara dua mata yang tajam tetapi memancarkan cahaya keteduhan itu, tampak batang hidung yang tinggi. Di bawah puncak hidung, kumis dan janggut yang bersambung ke cambang seolah melindungi bibir yang tarikannya melambangkan ketegasan sikap. Ini ditambah rahang kukuh, tempat bergantung cambang, yang sebagian telah memutih pula.
Tangan lelaki itu tertumpu di ujung paha. Ibu jarinya merunut satu per satu butiran tasbih. Di tengah kegiatan itu, mata sang lelaki tetap awas terhadap sekitarnya. Di sisi kiri dan kanannya, agak ke muka, dua lelaki lain, dengan jubah hampir serupa, duduk bersila. Sekitar dua tindak dari tiga lelaki ini, dua lelaki lain siaga dalam posisi setengah duduk, dengan lutut bertumpu pada lantai perahu. Di dekat mereka, tampak sederetan tombak dalam posisi matanya mengarah ke langit.
Di bagian muka, enam lelaki –tiga di sisi kanan dan tiga di sisi kiri—mengayunkan dayung dengan irama tetap. Di depan mereka, seorang lelaki di ujung perahu, mengawasi aliran sungai.
Sejuring bulan di langit. Cahayanya tidaklah cukup menjadi penerang malam. Pencalang terus melaju ke arah hilir. Di sisi kanan, nyala api kecil-kecil yang berderet tampak menari seiring gelombang sungai. Rumah rakit, yang menjadi tempat nyala api itu, diam tanpa suara. Sepertinya, penghuni mereka telah lelap dialun gelombang.
Di sisi kiri, tampak deretan rumah yang sebagian tiangnya menusuk tepian sungai. Sehingga, cagak-nya sebagian berada di dalam air. Di antara tempat kosong tanpa rumah, beragam pepohonan menjuntaikan dahan dan rantingnya ke air. Kerlip kunangkunang menghias dedaunan yang bergerak lembut oleh tiupan angin.
Tiba-tiba, lelaki pemegang tasbih menepuk pundak lelaki yang berada di sisi kirinya, sementara wajahnya tetap mengarah ke kiri perahu.
“Maaf, Paduka. Apakah gerangan yang merisaukan hati Paduka?” kata lelaki yang ditepuk pundaknya. Lelaki yang berada di sisi kanan, turut mengarahkan pandangan ke tempat pandangan lelaki yang disebut Paduka itu tertuju.
“Tidak, Mamanda. Tak ada kerisauan. Tetapi, adakah Mamanda berdua melihat sesuatu yang aneh di tepian sana?” katanya mengarahkan ibu jari ke tepian sungai.
Mendengar itu, lelaki ini bertepuk dua kali. Lelaki di ujung perahu pun mengarahkan dua telapak tangannya kepada para pendayung, yang segera menghentikan gerakannya. Kemudian dua telapak tangan itu ditolak-tolakkan dengan perlahan. Para pendayung pun kembali bergerak, tetapi dengan arah sebaliknya. Dayung ditolakkan ke depan, sehingga perahu kini bergerak mundur. Di tempat tadi pundaknya ditepuk, lelaki pemberi isyarat meminta agar gerak perahu dihentikan.
“Maafkan hamba, Paduka. Apa yang membuat Paduka merasa tertarik dengan tempat ini?”
Kini, lelaki yang berada di sebelah kananya yang berbicara. Paduka pun memandang wajah lelaki di sampingnya. Dia berusaha mencari jawaban di balik wajah yang tenang dan teduh itu.
“Tadi, tidakkah Mamanda berdua melihat, ada kilatan cahaya yang sangat terang dari arah sana,” katanya sembari mengarahkan ibu jari ke tepian sungai.
“Maaf, Paduka. Tampaknya, cahaya itu berasal dari kunangkunang, yang memang banyak kita jumpai sejak tadi,” jawab lelaki di sebelah kirinya.
“Bukan, Mamanda. Kalaulah dia kunangkunang, takkan muncul cahaya sebenderang itu. Aku betul-betul melihat, cahaya itu seolah memancar dari sana, sehingga menyilaukan mataku.”
Dua lelaki lain saling berpandangan. “Mamanda lihat, itu bukan pula rimbunan pohon atau kumpulan perdu. Dari bayangannya, pastilah itu sebuah rumah. Dan, cahaya yang tadi kulihat, berasal dari rumah itu,” lanjut lelaki ini, dengan suara penuh wibawa. Tatap matanya tak lepas dari tepian sungai yang dimaksudnya.
Lelaki di sebelah kanan mengambil prakarsa untuk bicara.
 “Maafkan kami, Paduka. Sekiranya Paduka berkenan, ada baiknya kita sudahi perjalanan ini. Esok hari, kami akan mencari tahu, apakah gerangan yang ada di sana. Benar begitu, Adinda Natodirajo?”
Kalimat terakhir diarahkannya kepada lelaki yang berada di sisi kiri.
“Benar, Kakanda Natoagamo.”
Pencalang pun berbalik arah. Meluncur kembali ke arah hulu.

*          *          *

NAIMAH baru saja menapakkan kaki di garang, setelah tadi membasuh pakaian di pangkalan yang berada di depan rumahnya. Dia dikejutkan sebuah perahu semawo yang secara tiba-tiba nyunggut di pangkal tangga.
“Assalammualaikum.”
“Waalaikummussalam,” jawab Naimah. Cepat dia menarik ujung kemben libar-nya hingga menutupi sebagian wajah.
Cik, ini kayu bakarnya,” kata lelaki yang berada di dalam perahu. Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu mengangkat ikatan kayu kering dari perahunya ke atas garang.
Dari balik penutup kepala lebar yang dikenakan lelaki itu, Naimah dapat menduga-duga usianya. Dengan demikian, dia dapat mencari tuturan yang pas bagi lelaki itu.
“Maaf, Mang Cek. Rasa-rasanya, kami tidak memesan kayu bakar.”
“Ini pesanan mek niko,” kata lelaki itu, seolah tak peduli pada perkataan Naimah.
“Tapi,...”
“Tak apa. Kulo letakkan saja di sini,” katanya, kemudian gegas menuruni tangga, kembali ke perahunya.
“Tapi, Mang Cek. Tunggu sebentar, biar kulo ambil redano.”
“Tak apa, nanti saja,” jawab lelaki itu, sambil menolakkan lentung ke pangkal tangga. Perahu semawo-nya bergerak cepat ke tengah sungai.
Sambil terus mendayung, pikiran lelaki itu terus berbicara. Tadi, dia sempat melihat sekilas wajah gadis itu. Kendati telah tertutup oleh kemben libar, dia dapat menduga-duga bagaimana paras si gadis. Dari mata dan pangkal hidungnya yang terlihat sedikit, lelaki ini dapat mengambil kesimpulan, benarlah yang dikatakan Natodirajo. Bahwa, perempuan bernama Naimah, putri Kemas Jompong itu tidak tergolong sebagai perempuan cantik. Namun, seperti kata Natoagamo, lelaki ini dapat melihat bagaimana sari wajah Naimah. Ada pancaran cahaya, yang menandakan bahwa dia salah satu insan yang betuah.
Di tengah Sungai Musi, di tempat yang tidak terlihat Naimah, sebuah pencalang dengan rangkaian tombak terhias di depan kajang kecilnya, telah menunggu. Ke pencalang itulah perahu semawo ini menuju.

*          *          *

KEMAS JOMPONG bersama Nyayu Badariah dan Siti Badariah duduk berhadap-hadapan dengan seorang perempuan paruh baya di atas amben. Di lantai ruang gegajah, beberapa orang duduk bersila. Di depan mereka beragam barang terletak.
“Begitulah, maksud kami, Cek. Maksud telah disampaikan, kiranya dapat diterima sesuai harapan,” kata perempuan itu, sambil menyerahkan sebuah nampan beralas sutera sulam emas, yang menjadi alas sebilah keris.
Jompong memandang kedua istrinya berganti-ganti. Sang istri membalas pandangan itu, dengan anggukan yang sangat halus.
“Begini, Mak. Merupakan kehormatan tak terhingga bagi kami untuk menerima pinangan ini. Ibarat kata, di rumah ini, telah dionggokkan sebuah gunung emas. Namun, ada baiknya kami bertanya terlebih dahulu kepada putri kami. Bagaimana, apakah hatinya berkenan. Karenanya, dengan penuh rasa hormat, kami meminta waktu barang dua tiga hari untuk menjawabnya.”
“Maafkan kulo. Sesuai pesan yang kami bawa, jawaban harus kami dapat hari ini juga. Yang Mulia Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo telah meminta demikian. Sekali lagi, maafkan kami,” kata Palak Rasan itu, sambil mengarahkan tangannya kepada orang-orang yang duduk di lantai gegajah.
Kembali Jompong memandang kedua istrinya. Badariah, sebagai ibu kandung Naimah, kemudian beranjak dari amben. Dia masuk keputren, tempat Naimah dan Perak berada, selama kunjungan yang sungguh tak diduga itu. Benar tak diduga. Pagi hari, datang utusan yang mengatakan bahwa seoang Palak Rasan bersama rombongan akan bertamu. Pesan itu tak disertai siapakah yang dituju, juga siapa yang mengutus. Siangnya, selepas zuhur, rombongan ini pun tiba. Mereka mengatasnamakan sultan sebagai si empunya kehendak.
Selagi Badariah menemui Naimah, Jompong termangu diam. Hatinya berkata, benarlah mimpi Naimah tempo hari. Dan, sungguh tak salah jurufalak mengatakan bahwa Naimah bakal dipersunting lelaki yang agung.
Mak Rajo bersama beberapa orang menyeling lamunan Jompong. Sigap, mereka membentang alas kain, lalu meletakkan beragam penganan di hadapan para tamu. Wedang pun menyusul.

*          *          *

JAWABAN Naimah sesuai keinginan sultan. Dia menerima lamaran itu dengan dada lapang dan hati terbuka. Dia pun siap mendampingi Ratu Sepuh, Ratu Gading, dan Mas Ayu Ratu, permaisuri dan istri terdahulu siltan.
Ternyata, keesokan hari setelah sultan melihat pendar cahaya dari rumah Kemas Jompong pada perjalanan malam itu, Natodirajo mengutus seseorang untuk menyelidik. Hasilnya, di rumah itu ada dua gadis. Dan, sesuai petunjuk Natoagamo, gadis yang sangat mungkin memancarkan cahaya itu adalah Naimah. Sultan kemudian menyelidik sendiri, dengan menyamar sebagai penjual kayu bakar. Dari rangkaian itulah, pinangan terhadap Naimah diputuskan.
Sebagai mertua dalem, Ayah Naimah diangkat sebagai tumenggung, sehingga bergelar Tumenggung Jompong. Sultan dan Naimah kemudian membangun rumah di samping rumah Tumenggung Jompong, dan kampung mereka diberi nama Guguk Jeru Pager.
Cuplikan Buku Legenda Tepian Musi. Yudhy Syarofie. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan. 2008.