Entri Populer

Sabtu, 06 Agustus 2011

Bulan di Pangkuan Nyimas Naimah

BULAN bulat di langit tampak begitu benderang. Mata Nyimas Naimah menatap lurus ke atas dalam baringnya. Kekagumannya pada benderang bulan itu sedemikian besar. Lewat lubang di kajang angkap, sepotong kaca yang dipasang di antara susunan genting memberikan keleluasaan baginya untuk memandang sang bulan.
Sejak tadi, dia tak mampu melepas pandang. Beberapa kali dia berbalik. Berbaring miring, setengah tengkurap, lalu telentang. Rasanya, tak ada yang lebih nyaman dibanding posisinya saat ini. Sejak masuk peraduan, dia sulit memejamkan mata. Sementara adiknya, Nyimas Perak, telah lama lelap di sampingnya.
Usai salat Isya, Naimah dan Perak menidurkan adik mereka, Kemas Zaudin, dengan buaian. Setelah si adik tidur, mereka pun memilih memasuki keputren untuk tidur. Berbeda dengan Perak yang tak sulit memejamkan mata, Naimah merasakan pekerjaan yang sangat mudah itu sedemikian sulitnya.
Diangkatnya bantal guling dari pelukan, mengangkatnya, lalu menutupkan ke kepala. Dia berharap, dengan demikian, dia dapat tidur. Nyatanya, masih tak mampu juga. Dilepasnya bantal guling, lalu kembali dalam keadaan semula, menatap lubang pada kajang angkap.
Dalam pandangannya, bulan di atas sana semakin membesar saja. Semakin lama, semakin bulat dan besar. Ah, tidak, bisik hatinya. Bukan semakin besar, melainkan semakin rendah. Naimah mengucek-ngucek matanya. Tetap saja bulan itu merendah, hingga ke atas genting rumah. Gelisah, Naimah beranjak duduk, tetapi pandangannya tetap tertuju kepada sang bulan.
Kini, bulan itu tidak menerobos masuk lewat kaca yang tersisip di genting, menurun lagi masuk ke keputren lewat lubang di kajang angkap. Warna emas menghias keputren. Bulir keringat, yang tadi baru menembus pori-pori Naimah, kini semakin menderas. Bulan itu terus turun, dan Naimah tengadah. Perlahan, sang bulan mendarat di pangkuannya.
“Amboi, betapa terangnya!” kalimat itu meloncat begitu saja dari mulut Naimah.
Rasa cemas kini berganti menjadi kagum. Didekapnya erat sang bula. Kini, tubuh Naimah pun berubah menjadi keemasan. Matanya berbinar terang, seterang cahaya bulan dalam dekapannya.

*          *          *

CEK, bangun. Istighfar.”
Perak mengguncang-guncang tubuh kakaknya. Naimah masih tersenyum dalam tidurnya. Tangannya erat memeluk guling. Sementara bantalnya basah kuyup oleh keringat.
Cek!”
Kali ini, dengan teriakan yang cukup keras. Naimah terbangun, tersentak duduk.
Perak?”
Istighfar, Cek.”
Setelah mengucek-ngucek matanya, Naimah sejenak memandang adiknya.
Istighfar.”
Astaghfirullah al adziem.”
Perak beranjak dari tempat tidur. Menuangkan air ke cangkir yang terletak di atas meja kecil di kamar itu. Lalu, menyodorkannya kepada sang kakak.
Naimah menyambutnya, lalu meneguk air itu. Seolah masih tak sadar, dia mengembalikan cangkir.
Perak kini duduk di bibir tempat tidur. Diusap-usapnya kening Naimah yang basah oleh keringat. Sang kakak masih diam. Pandangan matanya seolah mencari-cari sesuatu. Namun kemudian, dia menarik napas panjang, lalu mengusapkan kedua belah telapak tangannya ke wajah.
 “Hanya mimpi.”
Kata-kata itu keluar dari mulut Naimah serupa desahan. Perak merasa tak cukup mendengarnya.
“Apa?”
“Hanya mimpi.”
Jawaban itu nyaris tak berirama. Meluncur begitu saja. Perak pun tak ingin mendesak.
“Sudahlah. Kata orang bijak, mimpi itu bunga tidur. Sekarang. Tidurlah kembali,” kata Perak dengan lembut.
Penuh kasih, dirapikannya kembali bantal yang menjadi alas kepala kakaknya, lalu dengan perlahan membaringkan tubuh Naimah. Selanjutnya, dia menyusul tidur di samping Naimah, dengan berjuta tanya di hati.
Naimah berbaring. Namun, matanya tak mampu terpejam hingga kokok ayam terdengar.

*          *          *

SEGENAP anggota keluarga itu duduk khidmat di ruang gegajah rumah mereka. Kemas Jompong duduk di atas amben. Di sisi kanannya, Nyayu Badariah duduk diam. Di samping kiri, istri keduanya, Siti Zahara binti Datuk Nakhoda duduk sambil memangku Zauddin. Di depan mereka, Naimah dan Perak duduk menekuri alas amben.
“Istri-istriku dan anak-anakku,” suara berat Jompong memecah keheningan. “Kuharap, cerita mimpi ini kita cukupkan sampai di dalam ruangan ini saja. Kuminta, kalian tidak lagi membicarakan apa pun. Tak perlu mengulang kisah mimpi Naimah, apalagi kata-kata jurufalak tadi.”
Engge,” serentak jawaban itu keluar dari mulut para istri dan anaknya.
Mimpi Naimah memang ditutup rapat di rumah itu. Tidak pula dapat keluar dari sekerem yang tertutup di pintu menuju ruang jogan, apalagi sampai menelisik ke bide yang menghadap Sungai Musi. Semua mematuhinya.
Perak pun tak ingin lagi membahas masalah mimpi kakaknya. Apalagi, perkataan jurufalak, mengenai makna mimpi itu.
Entah ada orang yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan keluarga ini, ataukah jurufalak telanjur bicara di luar, nyatanya, bisik-bisik mulai terdengar. Apabila Naimah atau Perak terlihat keluar rumah, para perempuan pun sak-sik dengan sesamanya.
“Lihat, calon istri sultan lewat.”
Sst... itu kakak ipar sultan hendak ke mana?”
Lalu, terdengar tawa yang seolah ingin disembunyikan. Mak Rajo, yang selalu mendampingi Perak dan Naimah apabila keluar rumah, mendelikkan mata. Para perempuan itu pun tersipu, lalu pergi dengan gegas.
Pada kesempatan lain, mereka pun dengan terang-terangan melontarkan kata-kata sindiran. “Aduhai, pungguk yang malang. Tak ada pula batang besar yang dipanjat ‘tuk meraih sang rembulan.”
Cemooh demi cemooh mengalir ibarat arus Sungai Musi yang tenang tetapi berarus dalam. Menghadapi itu, Naimah berusaha menyabarkan hatinya. Demikian pula dengan Perak. Mereka tetap pada kegiatannya. Namun kini, keduanya semakin jarang saja terlihat berjalan lebih jauh dari ujung tangga rumah mereka.

*          *          *

LA ilaha illallah kul mulikul hakkul mubin
muhammad rasulullah halikul ba’dul amin
perahu kajangnyo solat, kemudinya yo iman tauhid
tiangnyo cagak shalawat, muatannyo yo zikirullah

Laila si kuning jiwo
bilik kecik muat beduo
biar ancur biar binaso
samo kasur samo kelaso

La ilaha illallah kul mulikul hakkul mubin
muhammad rasulullah halikul ba’dul amin
perahu kajangnyo solat, kemudinya yo iman tohir
tiangnyo cagak shalawat, muatannyo yo zikirullah

Bobok bobok kau si nangko
jangan timpo si batang padi
nak tiduk kau la mato
jangan cinto si uwong tadi

Berganti-ganti Perak dan Naimah nenggung untuk adik mereka. Di buaian, Zauddin telah pulas. Lagu-lagu yang dinyanyikan Perak dan Naimah pun semakin perlahan. Sementara denging suara serangga malam yang berada di pepohonan sekitar rumah mereka seolah menjadi musik pengiring. Suara-suara itu ditingkahi gesekan batang dan daun bemban yang bergoyang diombang gelombang sungai. Riak air membentur-bentur cagak rumah menambah harmoni musik alam itu.
Perak memandang Naimah. Sorot matanya tertuju sesaat ke dalam buaian. Naimah menempelkan telunjuknya di bibir, lalu memiringkan kepala sambil menjadikan telapak tangannya sebagai penopang. Itu pertanda, dia meminta agar mereka menunggu beberapa saat lagi, sebelum Zauddin benar-benar lelap.

*          *          *

PENCALANG meluncur perlahan. Riak air yang dipecah lunas berlari ke tepi. Garis-garisnya yang bergelombang menimbulkan kilatan saat ditimpa cahaya dari obor yang terpasang rapi di tubuh perahu itu.
Di bawah kajang yang menutupi bagian belakang pencalang, seorang lelaki paruh baya duduk bersila. Dari balik sorban yang menutupi kepalanya, menjuntai rambut ikal yang sebagian telah memutih. Sorban itu melengkapi penampilan sebuah wajah berbentuk oval, dengan alis tebal dan lengkungan mata yang dalam. Di antara dua mata yang tajam tetapi memancarkan cahaya keteduhan itu, tampak batang hidung yang tinggi. Di bawah puncak hidung, kumis dan janggut yang bersambung ke cambang seolah melindungi bibir yang tarikannya melambangkan ketegasan sikap. Ini ditambah rahang kukuh, tempat bergantung cambang, yang sebagian telah memutih pula.
Tangan lelaki itu tertumpu di ujung paha. Ibu jarinya merunut satu per satu butiran tasbih. Di tengah kegiatan itu, mata sang lelaki tetap awas terhadap sekitarnya. Di sisi kiri dan kanannya, agak ke muka, dua lelaki lain, dengan jubah hampir serupa, duduk bersila. Sekitar dua tindak dari tiga lelaki ini, dua lelaki lain siaga dalam posisi setengah duduk, dengan lutut bertumpu pada lantai perahu. Di dekat mereka, tampak sederetan tombak dalam posisi matanya mengarah ke langit.
Di bagian muka, enam lelaki –tiga di sisi kanan dan tiga di sisi kiri—mengayunkan dayung dengan irama tetap. Di depan mereka, seorang lelaki di ujung perahu, mengawasi aliran sungai.
Sejuring bulan di langit. Cahayanya tidaklah cukup menjadi penerang malam. Pencalang terus melaju ke arah hilir. Di sisi kanan, nyala api kecil-kecil yang berderet tampak menari seiring gelombang sungai. Rumah rakit, yang menjadi tempat nyala api itu, diam tanpa suara. Sepertinya, penghuni mereka telah lelap dialun gelombang.
Di sisi kiri, tampak deretan rumah yang sebagian tiangnya menusuk tepian sungai. Sehingga, cagak-nya sebagian berada di dalam air. Di antara tempat kosong tanpa rumah, beragam pepohonan menjuntaikan dahan dan rantingnya ke air. Kerlip kunangkunang menghias dedaunan yang bergerak lembut oleh tiupan angin.
Tiba-tiba, lelaki pemegang tasbih menepuk pundak lelaki yang berada di sisi kirinya, sementara wajahnya tetap mengarah ke kiri perahu.
“Maaf, Paduka. Apakah gerangan yang merisaukan hati Paduka?” kata lelaki yang ditepuk pundaknya. Lelaki yang berada di sisi kanan, turut mengarahkan pandangan ke tempat pandangan lelaki yang disebut Paduka itu tertuju.
“Tidak, Mamanda. Tak ada kerisauan. Tetapi, adakah Mamanda berdua melihat sesuatu yang aneh di tepian sana?” katanya mengarahkan ibu jari ke tepian sungai.
Mendengar itu, lelaki ini bertepuk dua kali. Lelaki di ujung perahu pun mengarahkan dua telapak tangannya kepada para pendayung, yang segera menghentikan gerakannya. Kemudian dua telapak tangan itu ditolak-tolakkan dengan perlahan. Para pendayung pun kembali bergerak, tetapi dengan arah sebaliknya. Dayung ditolakkan ke depan, sehingga perahu kini bergerak mundur. Di tempat tadi pundaknya ditepuk, lelaki pemberi isyarat meminta agar gerak perahu dihentikan.
“Maafkan hamba, Paduka. Apa yang membuat Paduka merasa tertarik dengan tempat ini?”
Kini, lelaki yang berada di sebelah kananya yang berbicara. Paduka pun memandang wajah lelaki di sampingnya. Dia berusaha mencari jawaban di balik wajah yang tenang dan teduh itu.
“Tadi, tidakkah Mamanda berdua melihat, ada kilatan cahaya yang sangat terang dari arah sana,” katanya sembari mengarahkan ibu jari ke tepian sungai.
“Maaf, Paduka. Tampaknya, cahaya itu berasal dari kunangkunang, yang memang banyak kita jumpai sejak tadi,” jawab lelaki di sebelah kirinya.
“Bukan, Mamanda. Kalaulah dia kunangkunang, takkan muncul cahaya sebenderang itu. Aku betul-betul melihat, cahaya itu seolah memancar dari sana, sehingga menyilaukan mataku.”
Dua lelaki lain saling berpandangan. “Mamanda lihat, itu bukan pula rimbunan pohon atau kumpulan perdu. Dari bayangannya, pastilah itu sebuah rumah. Dan, cahaya yang tadi kulihat, berasal dari rumah itu,” lanjut lelaki ini, dengan suara penuh wibawa. Tatap matanya tak lepas dari tepian sungai yang dimaksudnya.
Lelaki di sebelah kanan mengambil prakarsa untuk bicara.
 “Maafkan kami, Paduka. Sekiranya Paduka berkenan, ada baiknya kita sudahi perjalanan ini. Esok hari, kami akan mencari tahu, apakah gerangan yang ada di sana. Benar begitu, Adinda Natodirajo?”
Kalimat terakhir diarahkannya kepada lelaki yang berada di sisi kiri.
“Benar, Kakanda Natoagamo.”
Pencalang pun berbalik arah. Meluncur kembali ke arah hulu.

*          *          *

NAIMAH baru saja menapakkan kaki di garang, setelah tadi membasuh pakaian di pangkalan yang berada di depan rumahnya. Dia dikejutkan sebuah perahu semawo yang secara tiba-tiba nyunggut di pangkal tangga.
“Assalammualaikum.”
“Waalaikummussalam,” jawab Naimah. Cepat dia menarik ujung kemben libar-nya hingga menutupi sebagian wajah.
Cik, ini kayu bakarnya,” kata lelaki yang berada di dalam perahu. Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu mengangkat ikatan kayu kering dari perahunya ke atas garang.
Dari balik penutup kepala lebar yang dikenakan lelaki itu, Naimah dapat menduga-duga usianya. Dengan demikian, dia dapat mencari tuturan yang pas bagi lelaki itu.
“Maaf, Mang Cek. Rasa-rasanya, kami tidak memesan kayu bakar.”
“Ini pesanan mek niko,” kata lelaki itu, seolah tak peduli pada perkataan Naimah.
“Tapi,...”
“Tak apa. Kulo letakkan saja di sini,” katanya, kemudian gegas menuruni tangga, kembali ke perahunya.
“Tapi, Mang Cek. Tunggu sebentar, biar kulo ambil redano.”
“Tak apa, nanti saja,” jawab lelaki itu, sambil menolakkan lentung ke pangkal tangga. Perahu semawo-nya bergerak cepat ke tengah sungai.
Sambil terus mendayung, pikiran lelaki itu terus berbicara. Tadi, dia sempat melihat sekilas wajah gadis itu. Kendati telah tertutup oleh kemben libar, dia dapat menduga-duga bagaimana paras si gadis. Dari mata dan pangkal hidungnya yang terlihat sedikit, lelaki ini dapat mengambil kesimpulan, benarlah yang dikatakan Natodirajo. Bahwa, perempuan bernama Naimah, putri Kemas Jompong itu tidak tergolong sebagai perempuan cantik. Namun, seperti kata Natoagamo, lelaki ini dapat melihat bagaimana sari wajah Naimah. Ada pancaran cahaya, yang menandakan bahwa dia salah satu insan yang betuah.
Di tengah Sungai Musi, di tempat yang tidak terlihat Naimah, sebuah pencalang dengan rangkaian tombak terhias di depan kajang kecilnya, telah menunggu. Ke pencalang itulah perahu semawo ini menuju.

*          *          *

KEMAS JOMPONG bersama Nyayu Badariah dan Siti Badariah duduk berhadap-hadapan dengan seorang perempuan paruh baya di atas amben. Di lantai ruang gegajah, beberapa orang duduk bersila. Di depan mereka beragam barang terletak.
“Begitulah, maksud kami, Cek. Maksud telah disampaikan, kiranya dapat diterima sesuai harapan,” kata perempuan itu, sambil menyerahkan sebuah nampan beralas sutera sulam emas, yang menjadi alas sebilah keris.
Jompong memandang kedua istrinya berganti-ganti. Sang istri membalas pandangan itu, dengan anggukan yang sangat halus.
“Begini, Mak. Merupakan kehormatan tak terhingga bagi kami untuk menerima pinangan ini. Ibarat kata, di rumah ini, telah dionggokkan sebuah gunung emas. Namun, ada baiknya kami bertanya terlebih dahulu kepada putri kami. Bagaimana, apakah hatinya berkenan. Karenanya, dengan penuh rasa hormat, kami meminta waktu barang dua tiga hari untuk menjawabnya.”
“Maafkan kulo. Sesuai pesan yang kami bawa, jawaban harus kami dapat hari ini juga. Yang Mulia Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo telah meminta demikian. Sekali lagi, maafkan kami,” kata Palak Rasan itu, sambil mengarahkan tangannya kepada orang-orang yang duduk di lantai gegajah.
Kembali Jompong memandang kedua istrinya. Badariah, sebagai ibu kandung Naimah, kemudian beranjak dari amben. Dia masuk keputren, tempat Naimah dan Perak berada, selama kunjungan yang sungguh tak diduga itu. Benar tak diduga. Pagi hari, datang utusan yang mengatakan bahwa seoang Palak Rasan bersama rombongan akan bertamu. Pesan itu tak disertai siapakah yang dituju, juga siapa yang mengutus. Siangnya, selepas zuhur, rombongan ini pun tiba. Mereka mengatasnamakan sultan sebagai si empunya kehendak.
Selagi Badariah menemui Naimah, Jompong termangu diam. Hatinya berkata, benarlah mimpi Naimah tempo hari. Dan, sungguh tak salah jurufalak mengatakan bahwa Naimah bakal dipersunting lelaki yang agung.
Mak Rajo bersama beberapa orang menyeling lamunan Jompong. Sigap, mereka membentang alas kain, lalu meletakkan beragam penganan di hadapan para tamu. Wedang pun menyusul.

*          *          *

JAWABAN Naimah sesuai keinginan sultan. Dia menerima lamaran itu dengan dada lapang dan hati terbuka. Dia pun siap mendampingi Ratu Sepuh, Ratu Gading, dan Mas Ayu Ratu, permaisuri dan istri terdahulu siltan.
Ternyata, keesokan hari setelah sultan melihat pendar cahaya dari rumah Kemas Jompong pada perjalanan malam itu, Natodirajo mengutus seseorang untuk menyelidik. Hasilnya, di rumah itu ada dua gadis. Dan, sesuai petunjuk Natoagamo, gadis yang sangat mungkin memancarkan cahaya itu adalah Naimah. Sultan kemudian menyelidik sendiri, dengan menyamar sebagai penjual kayu bakar. Dari rangkaian itulah, pinangan terhadap Naimah diputuskan.
Sebagai mertua dalem, Ayah Naimah diangkat sebagai tumenggung, sehingga bergelar Tumenggung Jompong. Sultan dan Naimah kemudian membangun rumah di samping rumah Tumenggung Jompong, dan kampung mereka diberi nama Guguk Jeru Pager.
Cuplikan Buku Legenda Tepian Musi. Yudhy Syarofie. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan. 2008.

Kamis, 04 Agustus 2011

Karyaku







Sepotong Cinta di Samirejo

LANGKAH kaki kami menapaki jalan beton yang sebagian telah berlubang. Di kirii dan kanan jalan, yang sedikit lebih lebar daripada jalan setapak itu, tampak tanah kering yang ditumbuhi rerumputan. Sebagian lagi, padi lebak yang sebagian bulir buahnya telah menguning. Menjelang pukul 10.00, matahari mulai naik mendekati posisi tegak lurus.
Sempat dua kali kami bertanya dengan warga di Desa Mariana Ilir, Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin itu.
“Maaf, Pak. Tempat penes yang dulu di mana, ya?”
Penes?”
“Ya, yang dulu ditemukan di daerah sini. Penes Sriwijaya.”
“O, itu. Mungkin sudah tidak ada lagi,” jawab lelaki paruh baya itu, sambil menggaruk kepalanya.
“Ya, sudah pasti tak terlihat. Dulu dibenamkan di lebak.”
“Ya, ya. Benar. Nah, ambil jalan ini, lalu lurus. Nanti belok kanan, belok kiri lagi setelah di ujung,” jawabnya. Kini, nada suaranya terdengar riang.
“Terima kasih,” jawabku, sembari mengajak anggota tim untuk beranjak.
‘Eh, Pak. Masuk dulu, minum dulu lah,” kata lelaki itu lagi, tetapi kami sudah melangkah.

*          *          *

AKU tak pernah lagi mengunjungi tempat ini, setelah lima belas tahun silam. Semua berubah. Karena itu pula, aku mengalami disorientasi arah.
“Kak, barangkali, jalan beton ini sengaja dibangun untuk menuju lokasi situs,” kataku kepada Solahudin Ilyas, peneliti pendamping.
“Ya, sangat mungkin. Kalau sekadar jalan pemukiman, kan hanya berapa rumah yang dilaluinya,” kata Kak Udin, demikian dia biasa kusapa, merujuk pemukiman yang sangat jarang itu. Sementara Daru, menekuri jalan, sambil sesekali melihat pohon para (Hevea brasiliensis) yang telah tumbuh tinggi tetapi berbatang kurus di sebagian tepi jalan.
Selama beberapa waktu. Aku bersama teman-teman berkeliling Kota Palembang, Kabupaten Ogan Ilir, dan Banyuasin. Kami mengumpulkan berbagai bahan, untuk melengkapi materi buku yang sedang kutulis, Bidar; Cermin Filosofis Budaya Tepian Sungai. Mengapa Samirejo? Soalnya, tinggalan arkeologis di daerah ini sangat penting untuk diinventarisasi mengingat kepingan papan penes –sebutan masyarakat Palembang dan Sumsel untuk pinisi atau kapal layar—itu merupakan bagian yang penting dari sistem transportasi air. Bicara bidar, harus pula bicara mengenai kapal-kapal pada masa sebelumnya, sebagaimana bicara Paembang harus diawali dengan Sriwijaya dan masa terdekat dengannya.
Kami pun tiba di sebuah rumah berdinding bata, dan sebagian tidak diplester. Seorang perempuan, berusia sekitar 60-an tahun keluar. Lama dia memandang.
“Maaf, si Mbah rabun,” katanya.
Kemudian, dia menyuruh salah seorang cucunya untuk menemani kami ke lahan di belakang rumahnya. Aku pun memotret. Beberapa kali jepretan dari beberapa angle. Lahan itu, dengan pematang di sekelilingnya, bertanah kering. Semak dan rerumputan yang tumbuh di atasnya terlihat tidak terlalu tinggi. Berbeda dengan lahan-lahan sejenis di dekitarnya. Dua ekor sapi merumput, tidak terganggu oleh aktivitas kami.
Subhanallah, inilah tempatnya, tak jauh berbeda dengan masa lima belas tahun lalu, kala aku datang kemari. Lahan ini akan berlumpur saat musim hujan dan Sungai Musi sedang pasang naik. Namun, tak ada tanda kalau di tempat ini, tersimpan haarta karun ilmu pengetahuan. Bukti yang memerkuat bahwa pusat Kerajaan Palembang memang berada di Kota Palembang.
Di tempat ini, dahulu ditemukan sisa-sisa perahu kuno dari masa 610-775 Masehi. Pertanggalan itu diperoleh dari uji karbon (C-14) atas sembilan papan kayu dan sebuah kemudi sepanjang 23 meter. “Puing” papan, yang panjangnya mencapai 7 meter berikut  serpihan tali ijuk (Arrenga pinnata), itu ditemukan terkubur di lebak ini. Untuk memeliharanya agar tak rusak, tim arkeologi kemudian memutuskan untuk kembali memendamnya di tempat yang sama.
Sambil memandang lazuardi biru, yang berbatas dengan deretan pohon gelam () di kejauhan sana, aku membayangkan bagaimana luasnya Sungai Musi dahulu. Seperti halnya Sungai Musi di kawasan Palembang, telah terjadi penyempitan pada lebarnya. Sehingga, masa sekitar 13-14 abad lalu, sangat wajar bagian kawasan ini merupakan bagian dari sungai itu.
Aku membayangkan, melihat dari angka tahun serpihan kapal ini, dapat saja itu merupakan salah kapal yang dipakai Dapunta Hyang dalam perjalanan sucinya, yang dilanjutkan dengan pendirian wanua di Karanganyar (Prasasti Kedukan Bukit, 16 Juni 682 Masehi). Mungkin pula, kapal ini merupakan bagian dari armada Sriwijaya dalam usaha penaklukan wilayah pelabuhan, baik di utara maupun selatan kerajaan besar itu. Bukankah Sriwijaya melakukan ekspansi besar-besaran ke negeri-negeri tetangga untuk menguasai jalur perdagangan Nusantara?
Di tempat ini pula, konon pernah ditemukan mangkuk keramik dan tempayan dari Dinasti Yuan (1279-1368), pecahan manik-manik, pecahan bahan kaca, bahkan emas. Lantas, bagaimana pihak-pihak terkait memerlakukannya?
Saat aku melamunkan hal-hal itu, si empunya rumah muncul. Tongkat di tangannya tampak bergetar.
“Si Mbah kena rematik. Tidak kuat berjalan,” katanya. Matanya yang rabun masih terus menatapku.
“Mbah Lanang di mana, Mbah?” tanyaku, sambil melihat sekeliling.
“Aduh Gus (Bagus), dah ninggal,” katanya, sembari tangannya menepuk-nepuk dadaku.
Innalillahi wa inna illaihi rajiun.”
“Gus dulu pernah kemari, kan?”
Aku mengangguk.
“Ayo, masuk dulu,” katanya, sambil berjalan pelan.

*          *          *

Di ruangan tengah rumahnya, yang tak lebih luas dari ruang depan (tamu?), terbentang karpet kecil. Bersama teman-teman, aku duduk di sini, berhadapan dengan Mbah Nurjanah –nama perempuan itu—sambil berbincang ringan.
“Dulu, waktu Pak Maun datang, dia senang sekali,” kata Mbah Nurjanah, membuka perbincangan di ruangan itu.
Yang dimaksudnya dengan Pak Maun adalah Pierre-Yves Manguin, ahli arkeologi maritim dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis Untuk Timur Jauh), yang melakukan rekonstruksi atas kepingan-kepingan kayu sisa kapal itu. Dari rekonstruksi Manguin inilah, didapat fakta bahwa teknologi kapal itu berbeda dengan teknologi perahu kuno model Cina. Apabila teknologi Cina menggunakan bilah-bilah kayu untuk mengencangkan bagian lambung serta paku (bahan besi) untuk menguatkan kerangka dan dinding penyekat; teknologi perahu di Samirejo ini sangat berbeda. Menurut Manguin, teknologi yang digunakan pada perahu Samirejo adalah teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat (sewn plank and lashed-lug technique). Teknik rancang bangun perahu seperti ini, menurut Manguin, hanya berkembang di perairan Asia Tenggara. Tonjolan segi empat (tambuku) digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading. Pengikatnya berupa tali ijuk yang dimasukkan pada lubang di tambuku. Untuk memerkuat ikatan tali ijuk, digunakan pasak kayu.
Teknik pembuatan perahu jenis ini diperkirakan sudah ada sejak masa awal Masehi. Bukti tertua penggunaan teknik ini dijumpai pada sisa perahu kuno di situs Kuala Pontian di Tanah Semenanjung, yang berasal dari abad III-V Masehi. Dengan demikian, ini merupakan salah sau bukti lagi –di samping parasasti-prasasti, juga sisa kapal di Karanganar, Kolam Pinisi, juga beberapa bentuk serpihan kapal di beberapa daerah lain di wilayah Sumsel—untuk keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang.
“Dulu, si Mbah pernah dapat batu, pecahan kaca, dan emas. Emasnya seperti cincin, tapi tidak cukup untuk jari anak bayi. Orang yang punya toko emas, tidak berani membelinya,” kata Mbah Nurjanah, mengenai temuan lain yang pernah didapatnya di lahan seluas lebih kurang 1 ha itu.
Sekarang, di mana temuan-temuan itu?
“Hilang, bersamaan dengan meninggalnya Mbah Lanang,” katanya.
Mbah Nurjanah juga menunjukkan SK pengangkatan Maryono, putranya, sebagai juru pelihara situs. SK itu dikeluarkan tahun 1993.
“Ya, si Mbah pernah terima seragam dan honor. Sekali, Rp400 ribu.”
“Setelah itu?”
“Ya, ndak ada lagi.”
Aku mengucap istighfar. Artinya, selama lima belas hingga enam belas tahun terakhir, Mbah Nurjanah bekerja tanpa dibayar. Padahal, untuk menjaga lahan tempat puing perahu itu “disimpan”, dia terpaksa tidak memanfaatkannya untuk bertanam padi ataupun sayur-sayuran.
“Tidak berani mencangkulnya, nanti rusak. Kalau rumputnya, Mbah potong terus,” katanya.
Kekagumanku semakin bertambah kepada perempuan ini. Ternyata, dia memiliki sedemikian besar cinta, di samping cinta kepada almarhum suaminya, Tohir, dan anak serta cucunya.
Kami pamit. Sebelum kami menjauh, Mbah Nurjanah masih berkata, “Gus, sampeyan sekarang kok gedhe. Dulu, si Mbah lihat masih cilik.”
Aku tertawa. Rupanya, dia masih terus berpikir dan mengingat sosokku. Gedhe yang disebutnya itu merujuk kepada tubuhku, yang kini cenderung kena obesitas. Berbeda dengan kondisi sekian belas tahun lalu, kala aku masih sebagai mahasiswa.
Kami melangkah. Sepanjang perjalanan, aku masih memikirkan sepotong cinta di Samirejo. Cinta tulus yang dimiliki seorang Nurjanah, perempuan tua yang matanya telah rabun dan tulangnya dihinggapi rematik. Aku teringat pada pepatah Inggris, “Do all things with love, and love will touch everything to do”.
Subhanallah. Cinta itu demikian besar, walau kusadar, Mbah Nurjanah sama sekali tidak pernah mendengar pepatah itu.

Seks dan Politik Kekuasaan; Perempuan di Lintas Sejarah Palembang

DI Palembang, catatan tentang peran perempuan dalam lingkar politik kekuasaan, justru telah ada sejak abad ke-17. Dalam sejarah Palembang, setidaknya terdapat empat “peran” perempuan dalam lingkar politik kekuasaan. Pertama, sebagai sarana perluasan kekuasaan, yang pada kondisi tertentu justru menjadi penyulut perang antar-negeri; kedua, sebagai salah satu faktor penyebab peralihan kekuasaan, baik langsung maupun tidak langsung; ketiga, sebagai “media” penyatu –dalam istilah sekarang, rekonsiliasi—antar pihak yang bertikai; dan keempat, betul-betul memegang peran penting dalam ketatanegaraan.

Perang Antar-negeri
            PERKAWINAN “keraton” antara Jambi-Johor dan Jambi-Palembang, telah melibatkan tiga kerajaan ini bersengketa, yang menyulut perang antar-ketiganya. Ujung-ujungnya, siapa yang diuntungkan? Jangan heran, yang muncul adalah Vereenigde Oost Indische Compagnie sebagai “penengah” dalam perselisihan itu.
Perkawinan antara Putri Jambi dengan Raja Muda Johor, sempat menciptakan ketegangan antara dua negeri itu. Suatu ketika, Jambi merasa tidak puas atas sikap penguasa Johor, Sultan Abdul Jalil dalam hubungan perkawinan itu. Karenanya, Jambi mengirimkan utusan pada Mei 1665. Utusan menyampaikan ultimatum agar Raja Muda segera menjemput istrinya, atau menceraikannya. Belanda turun tangan dan menemui Sultan Abdul Jalil pada 30 November 1666. Namun, suasana semakin panas saat terdengar kabar mengenai rencana serangan Palembang atas Jambi. Nah!
Sekitar Februari tahun berikutnya, saat utusan Jambi datang ke Johor dan memberitahukan bahwa Palembang telah menyerang Jambi, Sultan Johor mengatakan bahwa Raja Muda telah berangkat dengan 25 kapal tujuan Lingga –mengumpulkan pasukan yang lebih besar jumlahnya—untuk menyerang Palembang. Ini dilakukan demi kecintaannya terhadap istri dan ayah mertuanya. Sayangnya, dalam perjalanan menuju Palembang, terjadi peselisihan, yang berakibat penembakan oleh kapal Johor terhadap kapal Jambi.
Situasi berubah, saat Pangeran Ratu Jambi menikahkan putranya, Pangeran Dipati Anom, dengan putri Palembang, 4 April 1673. Bersama Palembang, Pangeran Ratu menyusup ke wilayah Johor, bahkan infiltrasi terjadi hingga ke Johor Lama. Johor takluk, Raja Muda melarikan diri ke belantara, sedangkan sultan melarikan diri dengan perahu ke sebuah pulau yang berada di bawah kuasa Johor.  
Kemudian, Johor bangkit kembali. Melihat situasi ini, Jambi memerkuat pasukan dan mencari sekutu. Terlibatlah Daeng Mangika, putra I Mappaosong Kraeng Bisei, Raja Goa (1674-1677). Daeng Mangika bersama pengikutnya melarikan diri ke Banten, setelah negerinya ditaklukkan VOC bersama Aru Palakka pada tahun 1677. Hubungan antara Daeng Mangika (plus pengikutnya dari Bugis dan Makassar) dengan Jambi dijalin oleh Pangeran Ratu Jambi. Namun, hubungan itu pun pecah, setelah Jambi memutuskan untuk membatalkan perjanjian.
Johor menyerang Jambi pada Mei 1679. Sebanyak 300 kapal Johor telah menduduki kuala Sungai Jambi. Sementara 40 kapal yang lebih kecil, telah memasuki wilayah hulu, merebut benteng tanpa penjagaan, lalu membuang semua senjata di benteng itu. Menyadari situasi ini, Jambi balik menyerang hingga Johor terusir. Di tengah situasi itu, Pangeran Dipati Anom, putra Pangeran Ratu, bersama Daeng Mangika seolah sengaja membiarkan Johor menang. Kedua negeri kembali “berbaikan”. Akan halnya Daeng Mangika, bersama 500 pengikutnya, berlayar dengan tiga belas kapal menuju Palembang, 17 Oktober 1679.
Singkat cerita, dia bersahabat karib dengan Raden Aria –kelak menjadi raja dengan gelar Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago—yang hobi bertualang dan berkelahi. Inilah alasan namanya “jayo ing lago”. “Persekutuan” Raden Aria dengan Daeng Mangika seolah mengoyak luka lama. Hubungan yang buruk antara Palembang dan Jambi kembali terjadi. Di satu pihak, Jambi merasa keberatan Palembang menampung Daeng Mangika. Di pihak lain, perselisihan lama mengenai suatu daerah perbatasan, Tembesi, masih terus berlangsung. Apalagi, Raden Aria –atas dukungan ayahnya, Sultan Abdurrahman—bersama Daeng Mangika, menyerang Jambi pada Oktober 1680. Di sinilah, VOC mendapat keuntungan dengan posisinya sebagai “penengah”.
Sengketa Tembesi cukup menarik untuk dikaji. Menurut P. de Roo de Faille, semula Tembesi menjadi mas kawin atas perkawinan putri tunggal Pangeran Palembang, Ratu Mas, dengan Pangeran Ratu, ahli waris Kerajaan Jambi. Saat itu, Jambi “memaksakan” keinginan agar Palembang menerapkan garis ibu dalam perkawinan. Tidak begitu jelas, Pangeran Palembang mana yang dimaksud de Faille. Apakah yang dimaksudnya itu Sultan Abdurrahman (pernikahan putri sultan dengan Pangeran Jambi, Pangeran Dipati Anom, 4 April 1673) ataukah ada lagi pernikahan pada masa sebelumnya. Namun, dari penyebutan pemimpin Palembang sebagai Pangeran, dapatlah disimpulkan bahwa itu adalah perkawinan yang berbeda dan terjadi pada masa Kerajaan Palembang (1587-1659), bukan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823). Ini ditambah lagi dengan penjelasan de Faille bahwa data itu didapatnya dari Daghregister (catatan harian), 11 Juni 1627. Artinya, sebelum pernikahan putri Abdurraahman dengan Pangeran Dipati Anom, sebelumnya juga terjadi pernikahan antar-kerajaan.
Tetap saja menarik, ketika membaca ulasan de Faille, bahwa Pangeran Jambi merasa berhak atas tahta Palembang, saat Pangeran Palembang mangkat. Namun, keinginan itu kandas akibat “dua perampas kekuasaan”, demikian digambarkan pihak Jambi terhadap dua saudara laki-laki almarhum Pangeran Palembang.
Di sini, terlihat bagaimana sosok perempuan dapat memberi pengaruh besar terhadap kekuasaan. Lantas, bagaimana dengan Tembesi? Berdasarkan perjanjian yang “dimediasi” VOC, daerah itu akan dikembalikan apabila terjadi perkawinan antara putri Palembang dengan Pangeran Jambi. Aha!

Perselisihan Sekaligus Rekonsiliasi
            PALING kurang, terdapat tiga sengketa yang diakibatkan perempuan, dan dua di antaranya berujung pada kematian. Pertama, Sido Ing Kenayan –nama ini tertulis setelah yang bersangkutan wafat—yang tewas di tangan salah satu panglimanya.
Mengenai peristiwa kematian Sido Ing Kenayan ini, ada hal menarik karena ada beberapa versi cerita. Pertama siapa tokoh raja yang terbunuh dan kedua bagaimana peristiwa itu terjadi. Salah satunya, seperti catatan Palembang yang dikutip Roo de Faille (1971: 19).
Sjahdan Ki Mas Dipati mati... maka diganti saudaranja nama Pangeran Made Sokan menjadi radja, dan tatkala itu dia punja aturan kurang baik, sebab manakala rajat kawin akan dibawa lebih dahulu mengadap radja; jang manapun bagus, dititipkan didalam kraton, lakinja disuruh pulang (an sich!).
Pada versi ini, Roo de Faile menuliskan bahwa sesuai kebiasaan itu, suatu hari Pangeran melihat pasangan suami istri. Si istri demikian memesona sehingga Pangeran menahan perempuan itu di dalem-nya. Suami perempuan itu, Jaladri, kemudian mengamuk karena Pangeran menolak mengembalikan istrinya (Faille: 1971; 19). Versi lain, juga berdasarkan catatan de Faile, adalah Sido Ing Pasarean yang tewas akibat digigit musang (1971: 20).
            Kekacauan di Kerajaan Palembang ini kemudian diredakan oleh Ki Bodrowongso, yang berhasil membunuh Jaladri. Dalam sejarah Palembang, nama Ki Bodrowongso ada disebut sebagai panglima semasa pemerintahan Sido Ing Kenayan (1636-1650) dan Sido Ing Pasarean (1651-1652). Sido Ing Kenayan merupakan keenam Palembang ini menggantikan pamannya, Sido Ing Puro (1629-1636). Nama-nama ini dikenal setelah mereka mangkat. Sido Ing Pasarean, merupakan saudara sepupu Sido Ing Kenayan dan putra Ki Mas Dipati (1604-1609), yang merupakan raja kedua Palembang. 
Ki Bodrowongso juga merupakan tokoh yang sangat berpengaruh pada peralihan kekuasaan antara Sido Ing Kenayan dan Sido Ing Pasarean. Setelah Sido Ing Kenayan tewas terbunuh oleh Jaladri, Ki Bodrowongso menguasai keadaan. Namun, dia justru tidak mengambil kekuasaan yang digenggamnya. Tokoh ini justru menyerahkan kekuasaan kepada Sido Ing Pasarean. Ki Bodrowongso dapat dikatakan memegang peran penting pada sejarah perjalanan politik Kerajaan Palembang hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Tokoh ini juga dikenal sebagai Panglima Bawah Manggis. Hal ini terkait dengan posisi makamnya –sebelum kompleks makam dibangun seperti sekarang—yang berada di bawah naungan pohon manggis. Di dalam kompleks makam ini, terdapat antara lain makam Sido Ing Kenayan, Sido Ing Pasarean, Ratu Sinuhun, Sayyid Muhammad Nuh Imam Al Fasa (guru agama dan Imam Kubur Sido Ing Pasarean), dan Nyimas Ayu Rabi’al Hasanah (pengageng kraton).
Kedua, pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Saat tahta dipegang Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1697-1709), Pangeran Purbayo, tewas terbunuh. Ada sumber yang menyebutkan bahwa pembunuhan Pangeran Ratu ini akibat masalah perempuan. Muhammad Mansyur yang menggantikan ayahnya, Sultan Abdurrahman, merasakan kekecewaan mendalam terhadap putranya yang lain. Karena itu, kekuasaan diserahkan kepada adiknya, yang kemudian bergelar Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1709-1719).  Hal ini menyulut konflik antara putra Muhammad Mansyur, yaitu Anom Alimuddin dan Mahmud Badaruddin, dengan Sultan Agung. Konflik antara paman-keponakan ini mengakibatkan dua bersaudara itu meninggalkan Palembang. Setelah proses politik yang cukup memakan waktu (sekitar sepuluh tahun), Sultan Agung menyerahkan kekuasaan kepada Anom Alimuddin sebagai Sultan dan Mahmud Badaruddin sebagai Pangeran Ratu.
Lagi-lagi konflik tersulut. Mahmud Badaruddin –dalam pengasingannya, Mahmud Badaruddin telah melanglang buana, dari kawasan Nusantara hingga ke sebagian kawasan Asia hingga memiliki dua istri dari pengembaraannya itu—merasa lebih berhak menjadi sultan. Sebagai jalan keluar, Sultan Agung mengadakan sayembara yang intinya menyatakan bahwa siapa yang dapat memeristri putrinya, Ratu Rangdan, dialah yang berhak menjadi sultan. Faktanya kemudian, Mahmud Badaruddin-lah yang menjadi sultan, setelah menyunting Ratu Rangdan.
Konflik terus berlanjut hingga terbunuhnya Anom Alimuddin. Untuk meredam konflik, Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo merekrut “orang-orang” Anom Alimuddin di dalam pemerintahannya.
Dari proses politik kekuasaan ini, dapat dilihat bagaimana lembaga perkawinan dapat digunakan sebagai mediasi politik yang sangat ampuh. Karena itu pula, perkawinan antara Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dengan Nyimas Naimah merupakan bagian dari proses politik.
Perkawinan antara Mahmud Badaruddin dengan Ratu Rangdan dapat dikatakan sebagai bagian dari usahanya merekatkan kembali “keretakan” yang terjadi antarkeluarga. Sebelum menjanda, Ratu Rangdan merupakan istri Pangeran Ario Kesumo Cengek. Pangeran ini merupakan putra Pangeran Purbayo. Dengan demikian, Mahmud Badaruddin menikahi janda keponakannya. Ini berarti telah terjadi “perdamaian” antara tiga keluarga, yaitu almarhum Pangeran Purbayo, Sultan Agung, dan Mahmud Badaruddin.
Dalam kehidupan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, yang dikenal juga sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I, ada satu babak yang cukup menarik. Yaitu, pernikahannya dengan Nyimas Naimah. Dalam cerita tutur, dikisahkan bahwa ketertarikan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo terhadap Nyimas Naimah dipicu oleh pancaran cahaya yang muncul dari rumah perempuan itu, saat sultan melakukan perjalanan malam hari dengan pencalangnya.
Pernikahan sultan dengan istri keempatnya ini juga tidak dapat dikesampingkan unsur politisnya. Perempuan ini berdiam di lingkungan keluarga di kawasan Plembang Lamo, yang pada masa lalu masuk dalam kawasan Benteng Kuto Gawang. Sementara pada masa kekuasaan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, kraton telah tiga kali berpindah. Mulai dari Kuto Cerancang pascaluluhlantaknya Kuto Gawang (masa Sultan Abdurrahman) hingga Kuto Kecik (inisiatif Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo). Ada kemungkinan, keluarga ini merupakan bagian dari keluarga pendukung Sido Ing Rejek yang tersingkir dari lingkar dalam kekuasaan.
Apabila merunut silsilah keluarga Nyimas Naimah, komunitas ini juga bukan tokoh sembarangan. Ayahnya, bergelar Tumenggung. Apabila ditarik ke atas, Tumenggung Jompong merupakan putra Kemas Zainuddin bin Tumenggung Santeri Gemuk Alimuddin bin Kemas atau Panglima Nasruddin bin  Kemas Sewoto Diwanso bin Kemas Tengah bin Kiai Arya Slipir bin Sang Aji Kidul bin Sido Ing Lautan (berdasarkan silsilah keluarga Kemas H. Abdullah Umar bin Kemas H.M. Zen). Nama terakhir ini merupakan salah satu dari 28 ningrat Jawa yang hijrah ke Palembang pasca-keruntuhan Demak.
Sementara dari garis ibunya, Nyimas Naimah juga tercatat dialiri darah salah seorang tokoh berpengaruh pada proses politik di Palembang. Ibu kandung Nyimas Naimah, Nyayu Badariah, merupakan keturunan Ki Bodrowpngso.
Dengan demikian, cerita tutur yang berkembang pada seputar pernikahan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo-Nyimas Naimah, kuat diduga sebagai simbolisasi dari sebuah proses politik. Cahaya yang diceritakan memancar dari rumah Tumenggung Jompong –akhirnya disebut berasal dari Nyimas Naimah—boleh jadi merupakan simbol dari posisi Nyimas Naimah yang berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh politik yang cukup besar.

Rumah Tumenggung Jompong, dibangun kembali sekitar tahun 1830, setelah hangus terbakar saat berlangsung Perang Palembang 1821.

Masa kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dapat dikatakan sebagai masa transisi yang penuh intrik “jilid kedua” setelah Kesultanan Palembang Darussalam didirikan Kemas Hindi Pangeran Aryo Kesumo Abdurrohim dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Iman antara tahun 1959-1663.
Setelah perang melawan (VOC) pada tahun 1659 M, Benteng Plembang Lamo (Kuto Gawang) di 1 Ilir (sekarang, lokasi pabrik PT Pusri) dibakar habis oleh Belanda pada 24-26 November 1659. Akibat peristiwa ini, Sido Ing Rejek Ratu Mangkurat Jamaluddin terusir dan mundur ke daerah Sakatiga (OI) dan mangkat di daerah itu.
Mulailah babakan baru kekuasan di Palembang. Adik Sido Ing Rejek, Ki Mas Hindi kemudian mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam di Kuto Cerancang (kini kawasan Beringin Janggut) dan mengangkat diri sebagai sultan. Langkah politik terbesarnya adalah melepaskan diri dari “kekuasaan” Mataram. Namun, legalitas sebagai pemimpin itu tidak didapat begitu saja. Intrik dalam keluarga kerajaan terjadi, sehingga peralihan kekuasaan berlangsung di dalam kraton.
Peran terbesar perempuan Palembang dalam ketatanegaraan pada masa lalu dipegang Ratu Sinuhun. Ratu Sinuhun tercatat sebagai penulis kitab Undang-undang Simbur Cahaya; sekumpulan hukum adat tak tertulis, yang kemudian dikumpulkan menjadi bahan tertulis berbentuk kitab yang berlaku untuk rakyat di wilayah Uluan dan Iliran Palembang. Dia merupakan saudara perempuan Sido Ing Kenayan, yang diperistri Sido Ing Pasarean. Kitab ini tetap berlaku pada masa penjajahan Belanda, tetapi dilakukan sedikit perubahan, sesuai kepentingan pemerintah kolonial.
Kodifikasi terhadap kitab itu dilakukan oleh Asisten Residen Tebingtinggi, J.F.R.S. van den Bossche. Penulisan kembali hukum adat ini dilakukan atas perintah Residen Palembang, Kolonel C.A. de Braw (1851-1855), yang menginstruksikan agar jajaran di bawahnya melakukan pengumpulan data mengenai adat dan kebiasaan lokal di Palembang (baca: Sumatera Selatan) untuk ditulis dan dipergunakan sebagai dasar pembinaan hukum melalui pembinaan administrasi, pada tahun 1852. Tulisan Bossche, yang pengumpulan datanya berlangsung selama dua tahun itu, kemudian diedit dan dipublikasikan oleh L.W.C. van den Berg.
Hukum ini pun tetap berlaku di Sumatera Selatan setelah Indonesia merdeka. Teerbitnya UU mengenai pemerintahan daerah, yaitu UU No. 5/1974, UU No. 4/1975, yang kemudian dipertegas lagi lewat UU No. 5/1979, hilanglah pemerintahan marga, yang memakai kitab ini sebagai sumber hukum.
Untuk mengenang kembali UU ini, ada baiknya diingatkan mengenai adat dan aturan yang dimuatnya. Kitab Undang-undang Simbur Cahaya terdiri atas enam bab. Yaitu, Bab I Adat Bujang Gadis dan Kawin; Bab II Aturan Marga; Bab III Aturan Dusun dan Berladang; Bab IV Aturan Kaum; Bab V Adat Perhukuman; dan Bab VI Aturan Pajak.  Salah satu perubahan yang dilakukan pemerintah kolonial pada kitab hukum yang ditetapkan lewat Staatsblad 1877 No. 197 ini adalah Bab VI mengenai pajak, karena itu bertentangan dengan tujuan penjajahan, yaitu penguasaan tanah oleh pemerintah.
Demikian sebagian dari peran dan posisi perempuan dalam lintas sejarah  Palembang. Mengenai penilaian atas peran dan posisi itu, terserah pembaca untuk memberikan poinnya.

Sebagian tulisan dari artikel ini dikutip dari buku Legenda Tepian Musi (Yudhy Syarofie; Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan; 2008)